16. Pertahanan yang Runtuh

738 129 73
                                    

Happy Reading


Ambruk rapuh seperti tulang-tulang yang di tugaskan untuk membantu manusia beraktifitas itu rusak sepenuhnya sampai tidak bisa berkutik sedikit pun. Menatap ke depan dengan tatapan kosong, walaupun seperti itu hati tetap meminta semuanya bisa di putar kembali layaknya video, ingin memaksa kepada Tuhan untuk mengembalikan Sara seutuhnya, bahkan Dinda rela jika memang harus ia yang menanggung semuanya.

Dinda hanya ingin Sara kembali bersamanya. Dinda masih ingin teguran baik dari Sara, Dinda masih ingin perhatian Sara. Sara adalah sosok yang sudah semuanya anggap seorang kakak, namun dengan kejinya Dinda menghancurkan itu. Jika ucapan akan terus menyadarkan dirinya nanti Dinda tetap akan menyalahkan dirinya sendiri. Ketersiksaan bisa mengalahkan kebenaran begitu saja.

Jangankan untuk berdiri hanya untuk berucap saja Dinda merasa kelu, sangat kelu. Namun sesosok anak kecil yang berada di sampingnya terlihat terbangun dan tersenyum senang saat seseorang anak lagi menghampirinya dengan pelukan hangat yang sepertinya sangat erat.

Dua sosok itu saling menyerahkan kerinduan, menangis haru karena bisa saling bertemu kembali dan bisa pulang bersama-sama dengan tenang. Namun bagaimana dengan Dinda sekarang, ia hanya tersenyum getir dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya sedari tadi. Di saat orang lain merasa bahagia karena bisa saling bertemu kembali karena sekian lama di pisahkan, lalu bagaimana dengan perasaan Dinda sekarang.

"Terima kasih Kak sudah membawa adik saya pulang." ucap anak bule yang sebelumnya pernah Sara ceritakan padanya.

"Iya." setelah itu Dinda menunduk rapuh karena sudah tidak tahan dengan itu. Entah bagaimana kata Terima kasih itu begitu menyakiti hatinya bukan menghangatkan. Dinda rasa dari sekarang kata terima kasih sudah termasuk kata yang akan menyakiti hatinya sampai seluka-lukannya.

"Kita harus menjadi manusia tabah kak. Ketika di uji kita di per haruskan untuk berdiri dengan kokoh untuk tetap berjalan menemukan titik terbaik. Kami berdua pamit." Anak bule yang memberikan pesan itu kemudian lenyap begitu saja dengan anak kecil yang sebelumnya ada di samping Dinda.

Setelah mendengar perkataan anak itu Dinda menangis sejadi-jadinya memecahkan kesunyian hutan di sore itu membuat burung-burung yang sebelumnya menghinggap mulai berterbangan karena merasa terkejut.

"KAK SARA!!!" teriakan yang melengking itu kini keluar dengan tenaga yang masih tersisa.

"KAK SARA JANGAN BERCANDA, KAK SARA LAGI PRANK DINDA KAN?! KAK SARA LAGI SEMBUNYIKAN KAK?" dengan bodohnya Dinda tetap meneriaki nama itu, nama yang tidak akan di beri respon lagi jika di panggil. Wanita hebat dengan jasanya yang sangat mulia.

"Kak Sara? kak Sara sembunyi di mana?" Layaknya seperti orang gila setiap semak-semak Dinda geledah hanya untuk menemukan Sara. "KAK SARA!"

Untuk yang kedua kalinya Dinda terduduk rapuh dengan tangisannya yang masih mengumbara di setiap penjuru hutan. Dinda lupa bahwa dirinya sedang menggenggam sesuatu yang tadi Sara berikan secara tidak sengaja. Saat Dinda membuka kepalan itu ia menemukan surat yang sudah kusut, perlahan di sela tangisannya Dinda membuka surat itu namun saat melihat tulisan pertama Dinda tidak jadi membukanya karena surat ini bukan Sara khususkan untuknya. "Untuk Ananta Airlangga."

🌬🌬🌬

Hati yang semula baik-baik saja kini mulai resah tiba-tiba tanpa alasan. Anta mencoba memegangi dadanya dan benar saja hati itu berdebar, bukan debaran bahagia yang Anta rasakan namun debaran yang begitu sakit. Hati Anta sakit sampai-sampai Anta sedikit memukul-mukul dadanya itu pelan.

Suara tetesan air yang deras itu menerjang atap tenda dengan kebisingan yang tidak menyamankan, angin yang sebelumnya tenang-tenang saja kini sudah seperti angin topan yang meniup sampai-sampai resleting tenda yang di biarkan terbuka terpaksa di tutup.

MAHASURA [END]Where stories live. Discover now