29. Ananta Airlangga sang Leader ❤

814 117 21
                                    

Happy Reading

Angin pagi yang bisa di katakan sedikit kencang itu menarik semua tumbuhan yang terseok ke kiri dan ke kanan. Melihat itu Arkabian merasa bahwa itu adalah gambaran mereka semua, Mapala Trisakti. Ketika angin musibah menjumpai mereka, mereka juga terseok-seok akan semua kejadian tragis yang mereka alami.

Jika harus Arkabian mengingat momen ini, ia tidak tahu. Bila dirinya melihat lagi kebelakang, sama saja ia menambah luka yang sudah-sudah. Namun, jika ia melupakannya, tidar mungkin, karena di sinilah ia berjuang dengan yang lainnya, karena sejatinya kenangan juga penuh di sini. Kejadian ini berhasil membuat dirinya menjadi sesosok lelaki yang memiliki trauma berat.

Angin yang menerpa benar-benar menusuk akan dinginnya. Seketika Bian juga merasa bahwa perutnya sudah begitu perih, namun tetap ia tahan.

"Ayo lanjut bang." ucap Kafka yang menghampiri lalu menepuk pundaknya.

Lelaki dengan wajah pucatnya itu lantas menoleh menyunggingkan bibirnya lalu mengangguk.

"Lo kenapa bang? Sakit?" tanya Kafka yang baru menyadari bahwa bibir kakak tingkatnya itu pucat.

"Gue baik-baik aja." jawab Bian lantas membalikan badannya dan merangkul Kafka mengajaknya menghampiri yang lainnya. Kafka yang mendengar itu hanya mengangguk polos, fine saja dengan jawaban itu.

"Cuacanya bagus siapa tahu ini adalah jawabannya." ucap Keylara yang mendongakkan kepala melihat langit yang begitu biru, melihat matahari yang sebentar lagi akan menampakan diri dari ufuk timur.

Mendengar ucapan itu semuanya lantas mendongak sama-sama melihat langit yang begitu cerah, tidak seperti biasanya.

Namun, tidak berlaku bagi Astrid. Mau secerah apapun langit di atas, layaknya buta warna Astrid hanya bisa melihat bahwa langit itu tetap suram, gelap seperti biasanya. Seperti hujan yang akan turun, seperti kilatan petir yang akan siap mentertawakan lagi.

"Kita ngambil jalan kemarin aja. Kita kan sempet berhenti dulu di sini semalam." intruksi Anta, semuanya lantas mengangguk, mengikuti saja arahan Leader yang sudah tidak menganggap dirinya leader lagi.

Dengan perlahan Bian membawa Anei di belakang punggungnya lagi di bantu oleh Inka. Rasanya Inka sudah tidak mau hanya sekedar menyentuh badan itu, rasanya ia terlalu di nilai pembunuh jika masih berani menyentuh Anei. Tapi melihat Bian yang meminta, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa ikut-ikut saja dengan rasa takut salah lagi.

Mata itu sempat memerah karena tidak bisa menahan air mata lagi. Namun, untungnya Inka bisa mengontrol dirinya sendiri supaya terlihat baik-baik saja.

Perjalanan pun di lanjutkan seperti sedia kala. Mau bagaimanapun hasilnya mereka akan tetap terima, asalkan selama ini mereka semua ada usaha.

Astrid tidak juga berjalan ia hanya termenung dan rasanya berat hanya untuk melangkahkan kaki. Mana tega ia harus pulang di saat Arlan saja masih di tengah hutan sana.

"Astrid ayo." Hanin menarik tangan Astrid dan mengajaknya untuk segera berjalan.

"Arlan." kata itu berhasil membuat mereka terdiam. Nyatanya Astrid begitu khawatir kepada anak itu, mereka juga sama khawatirnya namun saja karena keadaan mereka di paksa untuk tetap berjalan mau bagaimanapun itu masalahnya.

MAHASURA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang