24. Jejak Pertama

658 114 32
                                    

Happy Reading

Angin semilir menerpa permukaan wajah Anta yang kini terduduk termenung memikirkan segala masalah yang menyerang pikirannya. Anta benar-benar sudah merasa buntu harapan kali ini juga. Perihal kejadian-kejadian yang tidak terduga berdatangan seenaknya tanpa ampun.

Perihal Sara saja masih membekas, mengapa harus ada Anei yang menjadi penambah dalam beban pikirannya ini.

Ini bukan tentang sakral yang di langgar lagi, tetapi kecerobohan manusia-manusia seperti mereka. Jangan menyalahkan sakral, karena sejatinya masalah tetap manusia yang memulai.

"Kita tetap mau bawa pulang Anei bang?" tanya Arkha yang menghampiri tanpa aba-aba. Sang empu tetap termenung terbelenggu dalam pikiran yang tidak ada ujungnya.

Arkha yang melihat itu lantas menghela nafas dan menepuk pundak lelaki itu. Ketika dapat tepukan itu Anta lantas menoleh dengan wajah sayunya lalu berbicara.

"Kenapa?" saking sayunya Anta benar-benar berbicara sesingkat itu.

"Jangan di pikirin terus bang, mau sejauh apapaun lo terbelenggu dalam pikiran kalau lo gak punya tekad, gak bakal ketemu jalan keluarnya." wajah kekecewaan begitu kentara, Arkha tidak habis pikir dengan Anta.

"Lo mau ngomong apa?" seolah tuli, Anta malah mengalihkan pembicaraan menjadi topik pertama.

"Anei tetap mau di bawa pulang? kenapa gak kita simpan dulu di sini sampai Tim SAR sendiri yang bawa." saran Arkha.

"Gila lo Kha, gue gak mau. Belum tentu tim SAR ke sini, lo tega ninggalin temen lo sendiri di sini?" tanya Anta membuat Arkha tidak bisa berkata-kata lagi.

"Anei biar gue yang bawa, mikir aja, manusia macam apa yang tega ninggalin rekannya di sini?" timpal Bian yang baru keluar dari tenda.

"Bukan kaya gitu maksud gue, kalau kita kesulitan gimana? Belum tentu kita juga bisa pulang."

"Gue yang nanggung Kha, sulit engganya kalau kita sama-sama dengan tujuan yang searah semuanya bakal tetap mudah." jawab Bian penuh kemantapan.

"Iya." jawab singkat Arkha, menjadi penutup perbincangan di detik itu.

🌬🌬🌬

Nasi sudah menjadi bubur, tentunya bubur tetap menjadi bubur. Sebesar apapun penyesalan dari seorang perempuan bernama Inka Pratista tidak akan pernah bisa mengembalikan temannya yang kini sudah beristirahat tenang tanpa harus merasa terusik bahkan beban.

"Nei gue siap kalau gue yang harus mati, tapi engga dengan lo. Gimana nenek lo nanti Nei, g—"

"Cukup Ka jangan bahas lagi kematian, cukup masalah yang datang berkali-kali sama kita udah bisa jadi cerminan buat lo kali ini." ucap Hanin menyela ucapan Inka yang seolah menerima saja jika mati hari ini juga.

"Takdir dari Tuhan boleh memberi cobaan lagi, tapi engga dengan nyawa." lanjut Hanin dengan hati yang tidak bisa di jelaskan lagi sakitnya. Saking sakitnya Hanin sudah benar-benar kebal akan hal ini.

"Tapi gue salah fatal di sini Nin, gue emang udah seharusnya kalian benci." jawab Inka tetap ada pada kata hatinya.

"Lo pikir kita anak kecil langsung menyimpulkan kaya gitu Ka? Kita harus tega gitu, ninggalin lo di sini dalam keadaan lo yang masih bernyawa dan sehat hanya karena kematian Anei? Lo gak yakin sama takdir Ka?" tanya Hanin langsung saja membuat Inka tidak bisa berkata-kata lagi. Dinda dan Keylara hanya termenung dengan mata sembab yang membengkak. Mendengar kata demi kata tanpa di cerna.

MAHASURA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang