30. Pulang

1K 101 22
                                    

Happy Reading

"LEPASIN GUE, BANG ANTA!!!" Astrid kini masih meronta-ronta ingin di lepaskan, namun Kafka dan Dean masih bisa menahan perempuan itu agar tidak berhasil lari dari cekalan nya.

Lelah, apa itu lelah mereka sudah kebal akan itu. Merasakan apa yang di rasakan saja rasanya tidak bisa. Semuanya terlalu di buat roller coaster bagi mereka semua.

Kekuatan tubuh Arkha seketika melemah hingga membuat pertahanannya ambruk seketika, Sara pun terpaksa di turunkan terlebih dahulu. "ARGHHHHHHHH." suara serak sudah sangat mendominasi, ia rapuh serapuh-rapuhnya untuk yang terakhir kalinya. Tidak peduli jika memang harus di tertawakan, tidak peduli jika memang harus di kucilkan. Arkha menangis sekencang-kencangnya. Segala emosi, penyesalan menguar seketika secara bersamaan.

Raungan serak ini benar-benar membuat yang lainnya mendadak terdiam dan termenung. Rasanya ingin egois saja ketika di hadapkan dengan takdir ini.

Hanin terduduk dan menangis dalam diam, mendekap kakinya merenung sakit seorang diri. Setiap manusia pasti punya batas sabar masing-masing, namun jika Hanin di paksa untuk selalu sabar sekarang ia rasa tidak bisa, semuanya benar-benar di luar pikirannya. Semua ini terasa berlebihan.

Tidak tahu cara menangis seperti apa, sembari menatap jasad Anei Bian hanya termenung dengan otak kosongnya. Sesekali ia menekan luka di pipinya, supaya pendaratannya itu bisa berhenti.

Sementara di sisi lain ada Dinda yang menatap sakit ke arahnya, merasa di anak tirikan di waktu yang tak tepat. Dinda beranjak dari duduknya lalu menghampiri Bian dengan beberapa tisu di tangannya, walaupun memang menemui Bian adalah hal yang membuatnya sedikit sesak. "Bang ini."

Bian mendongakkan kepalanya melihat siapa yang baru saja meng hampirnya, kemudian tatapan itu beralih pada tisu yang Dinda pegang.

"Makasih." sembari berucap seperti itu Bian segera menerima pemberian itu, tanpa mengatakan apapun lagi. Dinda hanya tertawa dalam batinnya, kenapa kali ini Bian benar-benar tidak mengkhawatirkannya.

Dengan perasaan sesal Dinda membalikan badannya dan berniat untuk pergi menghampiri yang lainnya lagi. Namun, tangan itu tiba-tiba tertahan oleh Bian. Dinda refleks menoleh dan mengerutkan dahinya menandakan bahwa dirinya sedang bingung.

"Lo gak papa kan?"

Terdiam seribu bahasa, kini bibir yang semula cemberut berubah kaku ketika di pertanyakan seperti itu. Dinda kira ia benar-benar sudah tidak pedulikan, nyatanya Bian juga butuh di pedulikan. Dinda menggeleng kuat dengan lemah menandakan bahwa dirinya memang sedang tidak baik-baik saja. Mata yang semula damai, kini panas seketika, ingin rasanya mengeluarkan semua sesak yang ada di hatinya.

"Kalau lo mau nangis, nangis aja." ucap Bian kemudian menarik Dinda untuk duduk di sebelahnya. Entah mengapa, jika memang Dinda sudah benar-benar dekat dengan Bian, ia tidak akan bisa menahan semuanya lagi, ia lebih leluasa juga terhadapnya. Dalam hitungan detik Dinda menangis sejadi-jadinya sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Dengan jelas Bian melihat bahwa pundak itu bergetar kuat. Ia tahu bahwa perempuan di sebelahnya ini belum berhenti untuk menyalahkan diri dari semua masalah yang terjadi. Maka dari itu Bian merangkulnya, mencoba memberikan kekuatan terhadapnya. Bian tidak marah jika Dinda harus terbelenggu dalam pikiran lamanya.

"Semuanya udah berakhir," ucap Bian kecil. "Semuanya akan berjalan lancar setelah ini." lanjutnya.

🌬🌬🌬

Hari terakhir yang akan menjadi keputusan ini membuat tim SAR lebih teliti lagi akan pencariannya. Semua tempat sudah mereka jelajahi namun tidak ada lagi tempat yang memberikan hasil terbaik dalam pencarian ini. Hati nurani benar-benar merasa tidak tega jika harus memberikan kabar buruk pada semua pihak keluarga. Namun, di sisi lain meninggalkan pencarian ini sudah menjadi peraturan yang jarang sekali di langgar.

MAHASURA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang