Bab Sembilan

69 3 0
                                    

Eits, jangan lupa vote and comment nya

Terima kasih.

###

Audrey

Pangeran kodok, tetaplah pangeran walaupun ia berubah menjadi kodok. Seburuk rupa apapun Sherk, dia punya Viona yang menjadikannya makhluk yang spesial.

***

Audrey sibuk di dapur sejak sore tadi, ia sedang memanggang brownis dan menyiapkan bahan untuk menu makan malam hari ini. Weekend minggu ini dihabiskan oleh Audrey dan Arkan di rumah. Sejak pagi, hujan belum berhenti. Mereka mengganti lari pagi di ruang olah raga lantai dua. Sejak siang, Arkan belum keluar dari ruang kerjanya. Sedangkan Audrey, bosan dan memilih membuat salad buah dan brownis.

"Jadi kau akhirnya melamarnya?" Audrey mengupas apel. Suara kakaknya, Joe terdengar di dapur, karena pengeras suara yang diaktifkannya.

"Aku melamarnya minggu lalu."

"Bagus, itulah yang seharusnya kau lakukan dari tahun lalu."

"Kau tak keberatan?"

"Apa maksudmu dengan keberatan? Aku senang, sangat, sangat senang. Akhirnya Cecil masuk kartu keluarga juga." Kata Audrey dengan nada keras, membuktikan ia tak kalah senang mendengar kabar dari Joe. Sambil memotong Apel menjadi potongan kecil, Audrey melanjutkan. "Apa kau sudah memberi tahu Memem?"

"Sudah, Memem langsung menyerahkan warisannya ke Cecil. Sekarang sahabatmu sedang terpenjara di dapur bersama Oma Ayu dan Memem. Aku yakin dia tak akan betah di dapur. Sebentar lagi dia pasti akan meneleponmu meminta bantuan."

Audrey mencampur apel, pir, strowberi, semangka, melon dan anggur dengan saus yang sudah di buatnya. "Itu berita bagus, aku sudah mengira Memem akan menyerahkannya pada Cecil." Apalagi sejak ia menolak mewarisinya dan memilih menulis novel.

Audrey sudah memutuskan untuk tidak mengambil warisan dari Memem. Pilihannya untuk pindah ke Jakarta dan fokus menulis hanyalah alasan. Alasan yang selalu ia berikan saat Joe atau Memem menanyainya mengenai warisan. Bagi Audrey menulis hampir seperti pelarian. Melarikan diri dari petir dan hujan, melarikan diri dari ketakutan, dan melarikan diri dari dunia luar. Namun sekarang Audrey sadar, ia terlalu membuat dirinya terisolasi dari masyarakat. Apalagi sejak ia bertemu dengan ayahnya satu tahun lalu. Mengingat momen menakutkan dalam hidupnya kembali menghantui, dan menyadari ia sendirian. Ia terlalu menutup diri. Dengan dalih takut terluka. Malah sebenarnya dia melukai perasaannya sendiri. Audrey ingat pesan ibunya. Bagaimanapun dia harus keluar dari rasa takut itu. Menyakiti diri seperti ini bukanlah apa yang diinginkan ibunya. Joe dan Memem juga tak akan menyukainya.

"Aku khawatir dia akan mati di dalam sana sebelum menjadi istriku," suara Joe terdengar resah dari speaker ponselnya.

Audrey mendesah. "Tidak akan. Tenanglah Joe, dia wanita yang kuat." Audrey menata buah ke dalam mangkuk, lalu memarut keju di atasnya. "Meski Cecil benci memasak, dia suka dengan roti kita." Kata Audrey, lalu berbalik dan membawa dua mangkuk salad buah ke kulkas. "Ini langkah yang tepat untuk mewarisi toko roti itu. Dia harus mengenal cara membuatnya, dengan begitu akan lebih mudah untuk mengelolanya."

"Aku lebih suka kau yang mengelolanya." Tapi dia tak pantas mengelolanya. Audrey selalu merasa seperti itu. Itu warisan keluarga. Dia tak bisa menerimanya. Meskipun Memem dan Joe menganggapnya keluarga. Dia merasa tak berhak mendapatkan kesempatan itu. Baginya, perlakuan keduanya sudah cukup. Dia tak menginginkan lebih.

"Toko itu akan tutup dalam satu tahun ditanganku. Aku bisa memasak, tapi tak bisa mengelolanya. Aku tidak berbakat bisnis, aku lebih baik bekerja di balik layar saja. Menulis lebih menyenangkan. Aku menikmatinya." Alasan selanjutnya yang selalu ia utarakan pada Joe dan Memem untuk menolak permintaan mereka. Audrey mencuci tangannya di westafel, dan melihat timer oven. Wanita itu kembali melangkah ke dapur. Membawa ayam dan cumi. "Aku lebih suka Cecil yang mengelolanya, dia punya otak bisnis. Toko itu akan berkembang ditangannya."

The Future Diaries Of AudreyWhere stories live. Discover now