Bab Empat Belas

64 2 0
                                    

Jangan lupa vote and commentnya ya.

Terima kasih

###

Arkan

Mungkin pangeran harusnya tidak menggunakan kuda putih. Kuda hitam lebih keren dan irit biaya pemeliharaan. Setidaknya lumpur tidak akan mengurangi pesona pangeran karena kuda putihnya kotor.

***

Audrey meringkuk di ranjang. Dia tak bisa tidur, Audrey kembali melirik laptopnya. Membayangkan kembali adegan demi adegan dari novelnya. Tapi tak satupun inspirasi muncul untuk melanjutkan novel yang masih setengah jadi itu. Audrey kembali berguling, ke kiri dan ke kanan. Lalu mengambil ponselnya. Membuka aplikasi pinterest yang mungkin saja memberinya sedikit angin segar. Namun tak ada hasil. Audrey bangkit, membuka salah satu novel yang dibawanya ke rumah Arkan. Berharap dengan membaca dia akan mulai mengantuk. Satu jam kemudian, Audrey masih terjaga. Matanya tak bisa tidur, tapi pikirannya juga tak ingin berhenti menganalisa novelnya yang mulai tersendat.

Audrey mengerang frustasi, dia tak mendapat ide, tapi juga tak bisa tidur. Audrey berguling terlentang, dan menatap langit langit paviliun. Sudah sebulan lebih dia tinggal di ruangan ini. Dan Audrey mulai merasa terbiasa. Dia menyukai Pak Doni yang selalu ramah. Mereka sering berkebun bersama ketika Audrey senggang. Audrey juga menyukai Ema dan Mumu. Ema tinggal sendirian sejak anaknya menikah dan mengikuti suaminya. Anaknya yang bungsu tinggal terpisah dengannya. Sedangkan dia sudah bercerai dari suaminya sejak 30 tahun lalu. Ema banyak bercerita betapa membosankannya hidupnya setelah pensiun. Tanpa melakukan kegiatan apapun, pensiun terasa penyakit mematikan baginya. Dia merasa otaknya beku tanpa bekerja. Jadi Ema selalu membaca di depan rumahnya, berkebun, belajar bahasa Jepang karena anaknya yang menikahi orang Jepang. Dan sekarang Ema sibuk meneliti tentang anjing, karena minggu lalu Mumu mengalami cacingan yang membuat Ema syok bukan kepalang mendapati banyak cacing yang dimuntahkan anjing manis itu.

Mumu seperti Emily, gemuk dan manis. Audrey menyukai sorot lembut di mata Emily. Dia seperti kebanyakan remaja lainnya, Earphone yang tak lepas dari lehernya selama di mobil. Ponsel ditangan. Beruntungnya Emily tak mengikuti trend make up yang membuat wajahnya tua beberapa tahun dari umurnya. Komentar polosnya tentang Arkan dan dua adik kembarnya. Audrey prihatin dengan bagaimana Emily menyerap semua informasi dan tindakan Gavin seolah gadis itu mesin foto kopi handal yang mencetak semua hal. Audrey yakin Arkan juga mulai cemas dengan adiknya. Meski Arkan bilang dia sama brengseknya dengan Gavin, tapi ada sisi pria dewasa dengan dua adik pembuat masalah yang selalu melihat adiknya sebagai objek yang harus dilindungi. Audrey sadar Arkan enggan membawa Emily kerumahnya bukan karena dia tak mampu merawat Emily selama seminggu di rumahnya. Audrey merasa ada hal lain yang menyebabkan Arkan ragu untuk membawa Emily ke rumahnya. Mungkin saja ini masih berkaitan dengan alasan langkanya dia berkunjung ke rumah orang tuanya.

Audrey berjengit begitu suara ketukan pintu terdengar. Dia yakin itu suara ketukan pintu kamarnya. Audrey melirik ponselnya, jam 12 malam. Dan tak biasanya Arkan mengetuk pintu paviliunnya di tengah malam. Audrey bangkit, mengenakan sweaternya. Menutupi kakinya yang bercelana pendek dan tanktop melekat ditubuhnya.

Audrey membuka pintu. Dia mendapati Arkan di depannya. "Kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja, tapi tidak dengan Emily."

"Apa yang terjadi?" Audrey merapatkan sweaternya merasakan angin malam yang berhembus melalui taman. Aroma Arkan tercium lebih pekat dari arahnya. Itu aroma yang menenangkan. Tapi efeknya jelas tidak menenangkan bagi Audrey. Sesaat, Audrey berhenti menarik nafas. Dia secara tidak sengaja menarik langkahnya mundur. Namun, tindakannya itu menarik reaksi lain dari Arkan. Mata pria itu mulai menggelap.

The Future Diaries Of AudreyWhere stories live. Discover now