Bab Dua Puluh Enam - END

21 1 0
                                    

Arkan

Tak perlu menyangkal. Kau sudah tahu apa yang sebenarnya hatimu inginkan.

***

Audrey terbangun lebih pagi dari pada biasanya. Dia mengecek jam di dinding kamarnya. Jam 6 pagi. Audrey mendesah. Jam tidurnya berubah drastis. Ini karena ia kehabisan energi menangis di malam hari, dan akhirnya tertidur karena kelelahan. Audrey melangkah ke dapur. Dia melakukan segala upaya untuk menyibukan dirinya. Mensyukuri segala hal yang akan membuatnya tidak lagi memikirkan Arkan.

Ia memberi tahu dirinya sendiri bahwa akan ada kesempatan lain. Akan ada pria lain yang tentunya membalas perasaannya. Meskipun begitu, ingatan tentang Arkan tak hilang dari benaknya. Perasaanya kacau. Rasanya otaknya diselumuti embun pagi, ia butuh sinar matahari. Tapi selama apapun ia menunggu, matahari tak menampakan sinarnya.

Audrey mengamati bundelan draf novel yang ia taruh diatas meja kerjanya. Draf novel yang ditinggalkan Anjani saat terakhir kali ia datang ke apartemennya. Audrey mengambilnya. Lalu menyimpannya dalam satu kotak yang penuh dengan barang-barang peninggalan ibunya.

Apa yang harus ia lakukan dengan semua perasaan ini?

Seandainya ia bisa menyimpan perasaanya dalam kontak, menguncinya dengan rapat. Dan menyembunyikannya di dalam lemari. Andai ia bisa melakukakannya, sama seperti draf novelnya. Menyimpannya dalam kotak bernama 'cinta pertama'. Tapi semua itu tak segampang yang ia pikirkan.

Audrey menutup matanya. Ia lelah. Tulang-tulangnya melemas. Tak sanggup menangani hatinya yang terluka dan pecah berkeping-keping. Dia pikir satu minggu meratap sudah cukup. Lagi-lagi ia salah. Audrey mencari kesibukan apapun yang akan menjauhkannya dari Arkan. Karena itu Audrey memasak, dari pagi hingga sore. Dia bekerja seperti mesin. Memotong, menggiling, mengaduk, mengocok. Tapi pikirannya terbang memikirkan Arkan.

Audrey terduduk lelah di depan meja makannya. Apartemennya dipenuhi aroma masakan. Audrey menatap masakannya. Terlalu banyak untuk ia habiskan sendirian. Kakaknya sudah memesak tiket pesawat untuk besok, jadi tak diragukan lagi semua makanan ini akan terbuang jika ia tidak menghabiskannya sekarang.

Audrey memasukan rendang dan opor ayam ke dalam wadah. Dia berencana membagikan sisa makananya ke tetangga dan para premen yang biasa membantunya setiap kali pulang dimalam hari.

Audrey melangkah keluar apartemennya. Udara malam cukup dingin karena ramalan cuaca malam ini akan hujan. Angin bertiup cukup kencang. Ia merapatkan sweaternya dan melangkah turun melewati tangga darurat. Sejak keluar dari rumah Arkan, Audrey jarang olah raga. Badannya kaku karena terlalu banyak duduk dan tiduran.

Langit malam terlihat lebih gelap. Tak satupun bintang yang terlihat saat ini. Awan menutupi sinar bulan, Audrey keluar dari gerbang apartemennya. Ia melirik taman disebelah apartemennya. Banyak penjual dengan gerobak menjajalkan makanan. Beberapa orang bersileweran, atau duduk di dalam tenda menikmati sajian makan malam dari penjual bakso atau nasi goreng. Audrey menyapa satpam yang meliriknya dan tersenyum begitu menyadari bahwa wanita yang mengenakan sweater abu-abu adalah Audrey. Audrey menarik toples brownis yang tadi ia bawa di dalam tote bagnya. Dan melangkah ke arah pos satpam.

"Hari ini jaga sendirian pak?" Audrey menarik satu toples brownis. "Ini brownis buat pak Agus."

"Terima kasih. Neng Audrey." Agus menerimanya dengan senyum ramah. "Hari ini saya jaga sama Pak Ucup. Tuh dia lagi beli bakso di taman."

Audrey mengikuti arah pandangan Agus. Dia bisa melihat laki-laki berbadan gempal yang ia kenal tengah mengantri di depan gerobak bakso. "Ah, saya kira bapak jaga sendirian lagi malam ini."

"Nggak. Neng Audrey mau kemana?"

"Mau ke gang depan pak," Audrey melirik ke dalam pos. "Oh, saya baru lihat. Jadi sekarang Pak Agus punya sofa baru?"

The Future Diaries Of AudreyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang