Bab Dua Puluh Lima

15 1 0
                                    

Audrey

My love is sure thing that you'll never lose, no matter what this lif puts us through. I choose you (Forest Blakk).

***

Kesekian kalinya ia mengerang di depan meja kerjanya. Hampir dua minggu sejak ia meninggalkan rumah Arkan. Ia terpuruk, merasa gagal, dan kehabisan air mata. Minggu pertama ia habiskan untuk merenung dan menangis. Dia meratapi seluruh penderitaan dan sakitnya patah hati untuk pertama kalinya. Dia menangis kapan saja, saat Cecil meneleponnya, atau saat Joe menanyakan keadaannya. Audrey seperti kapas yang berendam di air. Ia mudah sekali meneteskan air mata. Sekarang saat air matanya kering, Audrey menghabiskan waktunya untuk menulis. Seakan tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain bekerja, bekerja, dan bekerja. Ia ingin menghilangkan Arkan dari pikirannya. Ia butuh pelarian. Dan itu adalah novel yang ia tulis. Di dalam hati ia berharap waktu akan memberikan kesempatan untuknya menata hatinya yang hancur berkeping-keping.

Namun, semua itu hanya membuatnya semakin putus asa, karena setiap kali ia menulis. Audrey kembali teringat Arkan. Semua yang ia tulis berlandaskan kenangannya bersama Arkan. Dan itu membuat hatinya semakin sakit. Anjani sudah berulang kali menagih draf novelnya. Tapi Audrey belum merampungkan akhir novel itu. Ia tak bisa membuat akhir apapun untuk novelnya.

Hingga Audrey memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan novel romancenya. Audrey hanya merasa semakin terpuruk dan sulit bangkit ketika mengerjakan novelnya. Audrey ingin berhenti menulis novel itu. Karena itu, ketika Cecil menghubunginya dan memintanya pulang, Audrey langsung setuju. Dia butuh suasana baru. Jakarta terasa penuh dengan Arkan. Saat pertama kali ia menceritakan keadaannya, Cecil terlihat marah.

"Jadi kau jatuh cinta padanya?" Suara Cecil terdengar ketika ia menuangkan air ke dalam gelas minumnya.

"Ya, aku jatuh cinta padanya. Tapi dia tidak menginginkan hal yang sama."

"Oh, Au." Suara sedih Cecil membuatnya tercekat. Namun, Audrey berhasil menelan air minumnya. Dia sudah berjanji tak akan menangis dan meratapi hatinya lagi. Ia sudah meluangkan waktu satu minggu untuk merasakan luka di hatinya. Dan itu cukup. Ia akan menangis, dan sekarang waktunya menyembuhkan diri.

"Entahlah, Ce. Aku merasa mungkin aku salah mengambil keputusan. Atau mungkin aku salah mengartikan tindakan dan semua keintiman kami. Aku bisa jadi salah menafsirkan semuanya. Ku kira Arkan mencintaiku. Aku yakin tentang itu." Audrey menuangkan lagi air minumnya, "Tapi setelah kuingat-ingat, aku tak pernah mendengarnya mengatakan dia mencintaiku. Ia tak mencintaiku. Aku tahu alasan dia takut. Tapi ia tidak memberiku kesempatan. Ia tak ingin hubungan kami berubah kearah yang lebih jauh. Jadi aku menyerah, dan pergi dari rumahnya." Audrey menatap gelas kosongnya. Dia terbiasa dengan perlakuan Arkan di meja makan. Laki-laki itu selalu menjaga agar gelas Audrey terisi. Apa laki-laki itu sudah makan?

"Ini tidak bisa dibiarkan." Cecil berhenti sesaat, "aku akan ke Jakarta besok."

"Untuk apa?" Audrey terkejut, dia menatap ponselnya diatas meja yang menampilkan video call bersama Cecil. "Kau masih perlu di sana untuk mempersiapkan pernikahanmu."

"Pernikahanku bisa ditunda. Aku akan membunuh Arkan, dan menggulitinya hingga ke tulang-tulangnya. Laki-laki seperti itu perlu di beri pelajaran."

Audrey mendesah lelah, kemarin Joe juga berkomentar hal yang sama. Mendengar dua orang dengan tempramenal seperti mereka bergabung menjadi satu terasa lebih mengerikan. "Aku baik-baik saja."

"Bagaimana bisa kau baik-baik saja, aku yang mendengarkannya dari Joe saja naik pitam." Suara Cecil menggebu-gebu penuh amarah, "dengar Au. Kau terlalu baik untuknya. Banyak laki-laki di dunia ini yang lebih baik. Dia hanya laki-laki brengsek yang bermain-main dengan hati wanita. Berikan aku no ponselnya. Tidak, kirimi saja aku alamat rumahnya. Biar aku datangi langsung dia di sarangnya."

The Future Diaries Of AudreyWhere stories live. Discover now