Bab Tujuh Belas

60 2 0
                                    

Hi, jumpa lagi dengan Choco. 

Jangan lupa vote and commentnya nya. Kontribusi pembaca sangat berarti bagi penulis. Terima kasih atas dukungannya. 

Salam,

Chocomellow.

###

Arkan

Di Disney ada yang namanya ibu peri dan penyihir. Di dunia ada namanya super hero dan ayah berkaki panjang. Ia ingin menjadi salah satu dari itu dua itu bagi Audrey.

***

Arkan melepaskan bibirnya dari Audrey. Tak ada lagi raut ketakutan, matanya berganti syok dan rasa malu. Begitu Audrey menatap mata Arkan. Dia menekuk wajahnya, bersembunyi menutup rona pipinya yang mulai merah. Arkan menarik Audrey dipelukannya. Kembali mendudukkan wanita itu di pangkuannya. Dia memeluk Audrey erat-erat, sambil mencoba menenangkan debaran jantung dan hasratnya. Pikirannya berputar, batinnya berteriak menginginkan Audrey. Audrey tersentak mendengar suara guntur, tapi ia tak melakukan hal ceroboh seperti sebelumnya. Arkan mengingat-ingat ekspresi merana di wajah wanita itu. Dan tersadar, ia harus menyelesaikan masalah ketakutan Audrey terlebih dahulu.

Arkan melepaskan pelukan mereka. Dia menatap Audrey yang berantakan. Kaos dan cardigannya melorot hingga memperlihatkan pundaknya. Bibirnya bengkak, dan rambutnya acak-acakan. Rasa senang membuncah dihatinya karena sadar setengah dari kondisi Audrey di sebabkan olehnya.

"Maafkan aku." Suara Arkan penuh dengan penyesalan.

Audrey menggeleng penuh pengertian. "Tidak, aku juga salah." Laki-laki itu pasti merasa bersalah karena menciumnya. Audrey mengerti Arkan tak punya pilihan, dan itu bukan alasan, itu penjelasan yang dapat diterima di situasi mereka saat ini. "Kau tak perlu menyesal karena menciumku."

"Bukan, aku tak menyesal menciummu," kata Arkan menjelaskan dirinya, dia mengecup pundak Audrey, kemudian beralih mencium sudut bibirnya, "Aku menyesal karena membentakmu." Arkan tersenyum. Menatapnya dengan lekat, Audrey terahanyut dengan tatapan mata Arkan. Dia merasa Arkan seperti membesar, sementara paru-parunya mengecil.

Arkan menatap Audrey yang melongo. Dia tak sadar Arkan sebelumnya membentaknya. Kepalanya kosong, apa yang terjadi sebelumnya terasa kabur. Yang jelas di benak Audrey sekarang adalah rasa bibir Arkan di bibirnya, dan kecupan lembut di bahunya. Seiring dengan sorotan intens dari mata hitam Arkan, panas menyebar di tubuh Audrey. Perutnya terasa tegang, dan jantungnya berpacu diluar dugaannya. Rambut dan baju Arkan kusut. Seketika rona merah menyebar diwajahnya. Berbagai khayalan menari-nari di otak Audrey. Ia mengutuk dirinya yang memplototi bibir Arkan.

Astaga, Audrey. Akal sehat? Mana akal sehat? Dia seharusnya memiliki akal sehat, tapi dia tak menemukannya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Jadi ia meneliti kondisi mereka saat ini, kemudian sadar Arkan memeluk dan mendudukannya diatas pahanya. Paha yang kencang dan penuh otot. Lengan yang kokoh melingkari pinggangnya, menstabilkan posisi agar Audrey tidak terperosok jatuh.

Audrey bergerak ingin turun. Tapi Arkan mencegah dan memegang pinggannya lebih erat, mendekatkan tubuh mereka. "Jangan bergerak, kecuali kau ingin membuatku malu, kau tak boleh bergerak. Selain aku tak ingin kau jatuh. Aku tak ingin kau membuatku lebih kesulitan lagi." Tegur Arkan dengan lembut.

Audrey mengerinyit, dan kemudian sadar dengan reaksi aneh tubuh Arkan. Pipi Audrey merah padam. Audrey menangkap binar geli di mata Arkan. Mendapati situasinya memalukan, Audrey semakin meringkuk menyembunyikan wajahnya di pundak Arkan.

"Oh, ini memalukan. Tolong kirim aku ke paviliun." Suara Audrey teredam. Arkan melirik Audrey di pundaknya. Menyibak rambutnya kesamping. Rona merah menyebar di telinga dan lehernya. Ia memandangi Audrey dengan gabungan perasaan gemas bercampur geli.

The Future Diaries Of AudreyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang