Bab Sebelas

69 3 0
                                    

Jangan lupa vote and commentnya ya.

Terima kasih

###

Arkan

Beast tak memerlukan Belle untuk mengubahnya. Ia butuh MUA untuk memperbaiki penampilannya.

***

Percakapan mereka akhirnya berlanjut saat makan malam. Arkan dan Audrey cukup sibuk minggu ini, sehingga jarang mengobrol panjang seperti sekarang. Selama makan malam, Arkan dan Audrey terlibat diskusi serius. Tentang pekerjaan Arkan, kritik terhadap novel Audrey, berdebat tentang selera musik siapa yang keren, hingga bagaimana menakutkannya film horor bagi Arkan.

"Katakan padaku, bagaimana bisa kau tak takut dengan film horor?"

"Karena semuanya fiksi." Audrey bangkit dari meja bar. "Kau mau teh hijau?"

"Boleh." Jeda sesaat. Arkan menyendok brownis di depannya. "Semua film fiksi Audrey. Romance yang kau suka juga fiksi. Namun, kau percaya dengan cinta sejati. Selain itu, ada beberapa film horor yang diangkat dari kisah nyata."

"Kalau begitu, kau harusnya takut dengan film dokumenter, karena semua film dokumenter dari kisah nyata. Ada banyak kisah nyata yang lebih menakutkan dari pada hantu." Audrey mengambil mug, lalu melirik Arkan. "Dan mengenai romance, kau benar tentang itu." Adurey mengedikan bahu. "Romance memang fiksi. Hantu memang ada. Aku tak mengatakan hantu itu tak ada. Hanya saja aku tak membiarkan diriku takut dengan hantu. Aku memang percaya cinta sejati. Ini masalah pilihan. Aku memilih percaya dengan cinta sejati dari pada percaya hantu membuatku takut."

"Kau benar," nada Arkan mengandung tawa. Ia menyuap brownisnya, lalu memainkan sendok ditangannya. "Jadi karena filmnya tidak nyata kau tak takut? Kau tak takut hantu?"

"Aku tak bisa bilang aku tak takut hantu. Bohong jika aku bilang tak takut." Ia mengambil teh dari lemari penyimpanan. Memasukannya dalam mug. Ia menoleh pada Arkan yang menatapnya dari seberang meja bar. "Mungkin jika aku melihatnya aku juga akan ketakutan. Beruntungnya, aku tak pernah melihatnya. Aku lebih takut manusia dibandingkan hantu yang tak bisa ku lihat."

Audrey menuang air panas, meniriskan tehnya, lalu menyerahkan mug pada Arkan. "Papa pernah mengajarkanku cara untuk menghilangkan ketakutan." Audrey bergabung dengan Arkan di bar dapur. "Jika kau takut film horor, kau tinggal mengomentarinya."

Arkan melirik Audrey meniup teh hijaunya. "Mengomentari filmnya? Saat kau menonton?"

"Yup." Audrey menyesap tehnya perlahan. Hangat dan dia merasa nyaman. Entah karena tehnya, atau karena obrolannya dengan Arkan. Laki-laki itu mendengarnya, tak mendominasi pembicaraan dan terkadang menghiburnya. Ia merasa damai mengobrol dengan Arkan. Tak ada tekanan dan rasa canggung seperti yang biasa ia rasakan saat mengobrol dengan laki-laki.

Andai semua laki-laki yang mendekatinya dapat membuat Audrey bisa mengobrol begitu banyak hal seperti saat ia bersama Arkan, mungkin ia bisa menjalin hubungan serius dalam hidupnya. Audrey berharap ia akan menemukan laki-laki lain yang dapat membuatnya nyaman seperti sekarang. Arkan, sesuatu yang sudah ia tunggu-tunggu seumur hidup. Dan Arkan bukan hanya imajinasinya semata. Arkan menjadi tipe idealnya untuk segala hal. Fantasi novelnya, fantasi hubungan asmaranya, bahkan fantasi ketertarikan fisiknya. Arkan tampan, baik, maskulin dan sorot misteriusnya membuat pria itu mempesona.

Arkan menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut dari Audrey. Dan ia tahu ia akan menikmati lagi obrolan mereka malam ini. Layaknya obrolan-obrolan mereka sebelumnya. "Bagi sebagian orang mungkin itu sedikit menggangu. Akan tetapi, bagi yang takut, ini bisa membantu."

Audrey menaruh mugnya dengan pelan. Ia menatap Arkan, dan bertelekan tangan di meja bar. "Saat kau menonton mulailah fokus pada hal hal kecil. Aksesorisnya, warna darah yang dipakai, bajunya, gaya rambutnya, make up hantunya, akting tokohnya, latar belakang filmnya, apapun itu yang bisa kau komentari. Sebagian film horor terjadi karena manusia didalam filmnya terlalu kepo dengan segala hal. Aku belajar ini dari papa. Aku dan Joe sering melakukannya. Kau bisa berkomentar, seperti- 'harusnya ia memakai lipstik merah, ia terlihat pucat', jika aktingnya kurang bagus- 'dia tak cocok dengan film ini, adegan menyeramkan jadi terlihat lucu karena aktingnya' atau kau bisa mengatakan- 'sound filmnya lebih menyeramkan dibandingkan ceritanya. Mungkin harusnya ini jadi film musikal bukan film horor.' Saat kau menonton film horor cobalah untuk tidak terbawa suasana, seringnya penonton menempatkan diri mereka sebagi bagian dari film itu, mereka membayangkan diri mereka dalam situasi itu, makanya lebih menakutkan. Aku sering mengamati jalan ceritanya, jadi pihak ketiga dari filmnya membuat rasa takutmu lebih berkurang."

The Future Diaries Of AudreyWhere stories live. Discover now