11. Sebuah Perlakuan

9.5K 442 9
                                    

TERHITUNG sudah tiga hari Nara menjalani hari-harinya bersama Tio, catat hanya sebagai seorang babu.

Banyak yang Nara kerjakan selama tiga hari belakangan, mulai dari tugas kampus milik Tio, hingga tugas rumah juga Nara ambil alih. Tio benar-benar memanfaatkan moment ini, ia tidak ambil celah untuk membiarkan Nara hilang dari jangkauan pandangnya.

Malam ini kondisi Le’One Cafe cukup ramai, mungkin karena malam minggu. Banyak muda-mudi yang menghabiskan malam di luar rumah, entah melepas rindu bersama sang kekasih, atau menghadiri perkumpulan rutin seperti di meja ini. Nara menjadi satu-satunya wanita yang duduk diperkumpulan ini, satu-satu manusia yang bukan dari jurusan hukum.

“Kak Leo. Kak Faya kok belom sampai si?” tanya Nara kepada Leo yang duduk disebrangnya.

“Dikit lagi,” jawab Leo, “Bete lo ya?”

“Enggak si, cuma aneh aja cewek sendirian,” jelas Nara.

“Ya udah sabar, ya?” ucapan Leo hanya dijawab anggukan kepala oleh Nara.

Angin malam semakin menerpa, dinginpun ikut menyapa dan yang datang semakin banyak. Nara tatap pintu masuk café ini, ada segerombolan muda-mudi yang datang secara bersamaan, netra Nara mencari sosok Faya di kerumunan itu tetapi nihil yang didapat. Langkah kaki mereka menuju tempat di mana Nara dan teman-teman Arjuna tengah duduk santai.

Kok makin banyak si, anjir! ucap Nara dalam hatinya.

Benar sekali, ternyata anak hukum memang sedang mengadakan perkumpulan di malam ini.

“Ra, bawa kunciran?” bisik Tio tepat di telinga Nara, hembusan napasnya membuat perasaan aneh menerjang.

“Nih.” Nara menyodorkan lengan kirinya. Walaupun memiliki rambut pendek, Nara selalu menaruh satu buah kunciran kecil berwarna hitam polos dipergelangan tangannya, ini sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi wanita pencinta gulali.

“Gue pinjem dulu,” ucap Tio dengan senyum saat mengambil kunciran itu dari pergelangan tangan Nara.

Nara menunggu Tio selesai menguncir rambutnya yang sedikit gondrong sebelum mengucapkan satu kalimat yang tertahan sedari tadi.

“Nggak usah gitu liatinnya!” seru Tio dengan tangan yang mengelus seluruh wajah Nara.

“Ck, gue pindah ya, kak? Di pojok sana.” Nara tunjuk sudut ruangan.

Tio mengerutkan dahi dan bertanya, “Kenapa pindah?”

“Gue nggak tau kalian ngomongin apaan. Gue serasa kayak orang bodoh,” jelas Nara.

“Kurang nyaman ya, Ra?” Satu suara baritone menginterupsi, mengambil alih fokus Nara.

“S-sedikit,” ucapnya gugup.

“Ya udah Yo, biarin aja Nara di sana, kasian,” saran Arjuna.

Pria ini sedari tadi cukup memperhatikan gerak-gerik Nara, wajah yang selalu wanita ini tundukan juga minumannya yang cepat sekali habis.

Rasa bahagia Nara tidak dapat dibendung, ia gigit bibir bawah secara perlahan untuk mengurangi tampilan senyum di wajahnya.“Nanti chat aja klo udah selesai.” Nara bangkit dan membawa satu gelas minumannya dibarengi Arjuna yang bangun dari tempat duduknya.

“Mau kemana?” tanya Nara heran.

“Pesen, kenapa?” jawab Arjuna.

Gue pikir mau nganterin gue. Shit! gue udah kepalang pede aja, ucap Nara dalam hati,

“Nggak apa-apa.” Nara langkahkan kakinya menuju tempat di ujung sana. Mereka berjalan ke arah yang sama meskipun dengan tujuan yang berbeda.

“Maaf  bikin lo nggak nyaman.” Arjuna membuka obrolannya.

feel so fine [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon