20. Masalah

8.5K 406 5
                                    

KAKI itu beranjak meninggalkan kelas. Harinya tidak berjalan baik, bagaimana tidak, selain tentang percintaannya yang tidak bergerak, juga tentang kuliahnya. Hari ini presentasinya tidak sempurna bukan karena dirinya tetapi disebabkan oleh teman sekelompoknya yang tidak hadir. Muak itu yang Nara rasakan.

"Nara?" panggil satu suara, langkah wanita ini terhenti dan mulai mengendurkan otot tangannya juga menarik udara untuk membuat rahangnya tidak mengeras lagi.

Dilihatnya Dean yang mengenakan celana bahan dengan t-shirt yang dilapisi kemeja flannel, yang paling Nara heran dengan Dean adalah rambutnya yang selalu tertata rapih ditambah wajah putih bersih membuat orang lain betah jika harus berlama-lama memandang pria itu.

"Woy bocil," sapanya kembali.

Nara melangkahkan kakinya mendekati sumber suara.

"Yang sopan dong, brother!"

Dean tertawa dan mulai menyesuaikan langkah Nara. "Mau langsung balik? Apa mau main dulu?"
Keduanya berjalan beriringan.

"Balik, capek banget gue," jawab Nara dengan suara yang terdengar lemas.

"lkut gue sebentar, mau ngomong" pinta Dean.

Mereka pulang dengan motor Dean, namun pria ini memberhentikan laju motornya di sebuah cafe pinggir jalan.

Makanan itu habis, sekarang waktunya Dean berbicara, ditariknya napas panjang. "Pandu digebukin."

Nara nyaris tersedak saat mendengar ucapan Dean, ditatapnya pria itu dengan lekat, meminta penjelasan akan kalimat yang terucap.
"Pandu digebukin, sekarang ada di rumah bunda," jelas Dean.

"Sama siapa?" suara Nara terdengar khawatir. "Kok bisa?"

"Lo kok nanya gue si? Kan lo kakaknya?"

"Tapi kan dia deketnya sama lo," rengek Nara.

Wanita ini memang tidak dekat dengan adik satu-satunya itu, entah Nara yang terlalu cuek dan sibuk akan dunianya atau memang Pandu yang terlalu tertutup akan kakaknya.

"Digebukin sama ibu, kata Reyhan dia nilep duit SPP."

Mata yang terpejam membuat Nara meringis akan kenyataan yang di hadapinya. Emosi yang tertahan membuat kepalanya semakin pusing, hari ini benar-benar lengkap penderitaan seorang Naraya Adisthi.

"Hubungin sekarang, biar gue bisa bantu ngomong sama Pandu," usul Dean.

Dikeluarkan ponsel milik Nara, jemarinya mulai menekan layar mencari nomer sang adik. Panggilan suara Nara lakukan, ia ingin segera mengetahui alasan adiknya melakukan perbuatan itu.

Tidak butuh waktu lama untuk Nara agar bisa mendengar suara adiknya.
"Apa? Mau marah-marah?" bukan sapaan yang Nara dengar tetapi pertanyaan sarkas yang dilontarkan adik satu-satunya itu.

"Susah banget ngucapin salam?"

"Lo nggak perduli sama gue, ngapain nelpon gue?"

Deg!

Kalimat Pandu berhasil menghancurkan hatinya. "Gue masih kakak lo! Yang sopan, bisa?"

"Mana ada Kakak yang nggak pernah ngehubungin adiknya? Mana ada bego!" makian itu lolos dari mulut Pandu, adik dari Nara akhinya mengeluarkan keluh kesah yang dirasa, Pandu ingin perhatian entah dari orang tuanya atau dari kakak satu-satunya itu.

"Pandu!"

"Kak. Balik ke rumah, nggak usah sok-sok-an kuliah di Jakarta. Gara-gara lo! gue selalu dibandingin. Gara-gara lo! ibu sama bapak harus kerja lebih keras dan gara-gara lo uang saku gue selalu dikurangin," tutur Pandu tanpa jeda. Emosi Pandu yang terhantarkan dapat Nara rasakan, rasa bersalahnya menyeruak membuat Nara sadar dirinya di Jakarta hanya berfokus kepada pendidikan dan percintaan saja, ia lupa jika ada keluarga yang harus dirinya perhatikan.

feel so fine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang