45. Waktu Itu Tiba

11.6K 512 15
                                    

Sinar mentari sudah meredup berlalu begitu saja selama dua bulan belakangan, gelap yang mengalahkan cahaya kini mengambil alih tugasnya.

Rindu menuntun Arjuna mendatangi sebuah Bar tempat ia mengeluarkan emosi yang tertahan. Ia rasa, ia benar-benar sendiri, tenggelam akan gulita yang menguasai ruangan yang penuh sesak ini, dikecewakan oleh wanitanya dan tenggelam akan rasa yang baru disadari belakangan ini, yang lebih menyakitkan tidak ada seorangpun yang menjadi sandaran untuknya.

“STOP JADI TOLOL! BRENGSEK,” maki Tio saat melihat Arjuna menenggak satu gelas minuman yang beralkohol. “Lo udah kayak gini, mau mati?”

“Lo ngapain di sini?” tanya Arjuna.

“Yang sakit dan hancur nggak lo doang, anjing!” Tio menepuk dadanya. “Gue juga, mungkin di sana Nara juga hancur.”

Keduanya memiliki cara yang sama dalam hal melampiaskan rasa sakitnya.

“Ahh, Nara.” Arjuna tertunduk dengan air mata yang mengalir.

“Jun. nggak gini caranya! Lo harus paham batasan diri lo. Sakitnya boleh ngambil alih, tapi ini tetep harus dijaga.” Tio menunjuk kepala Arjuna.

Anantio ingin memberitahu jika logika harus tetap berjalan agar luka itu tidak mampu membunuhnya. “Lo jarang ngampus, mabuk terus, berubah jadi dingin dan menjauh dari temen-temen yang lain.”

“Gue cuma mau minta maaf dan ingin dia balik lagi di hadapan gue,” racau Arjuna.

“Bajingan kayak lo nggak tahu arti kata move on?” pertanyaan itu tanpa jawaban.

“Arjuna udah jadi bajingan, bodoh lagi!” Tio mulai menepuk pundak sahabatnya. “Kita nggak akan ketemu Nara kecuali dia sudah sembuh sama luka hatinya. Yang harus kita siapin juga hati, Jun! Kita semua harus berdamai sama hati masing-masing terlebih dahulu.”

“Gue tahu kita semua sakit, tapi Nara jauh lebih sakit, gue mau bantu obtain sakit di hatinya.” Arjuna tatap Tio dengan wajah penuh harap.

“Dengan cara apa? Yang ada ketemu Nara saat ini malah bikin dia semakin sakit. Biarin waktu yang jawab perasaan lo, perasaan gue, perasaan Nara bahkan perasaan Jasmine.”

“Yo. Rasa bersalah dan cinta gue sekarang sama besarnya. Lo nggak usah ikut campur.”

“Udah bodoh, bebal lagi.” Tio pergi meninggalkan meja di mana Arjuna sedang terkekeh dengan air matanya.

Ra, ini bukan menjauh melainkan menghilang. Tanpa kabar lo biarin semua hati berantakan. Arjuna kangen lo dan gue kangen lo, ucap Tio dalam hati.

Setiap langkah Tio menggoreskan perih di hatinya, bukan hanya tentang Nara tapi juga tentang Arjuna. Pria ini kini diuji rasa kemanusiaanya, berbalik arah untuk membopong Arjuna pergi dari tempat ini.

Tio kesampingkan egoisnya sementara, ia tutup rasa sakit itu dengan pedulinya terhadap sang sahabat.

Ponsel yang kini tersambung memanggil sebuah nama.
“Dean. Jemput gue sama Juna di Bar biasa.”

Setelah mendengar jawaban dari Dean, Tio memutuskan sambungannya. Selagi menunggu sang sahabat, pria ini layangkan ingatanya tentang Nara, lintasan kenangan itu tergambar kembali, mulai dari kesalapahaman yang membuat mereka menjadi dekat, hingga pengakuan yang berakhir penolakan, sampai pada kenyataan bahwa wanita yang ia kejar simpati juga cintanya telah lama menaruh hatinya kepada pria di sampingnya.

“Kok Juna bisa sama lo?” tanya Dean meledek.

“Duet maut tadi di sana.”

“Udah nggak marah sama Juna?”

feel so fine [END]Where stories live. Discover now