30. Job

9K 477 16
                                    

Nara mendapatkan pesan di pagi hari, pesan dari Gama yang meminta alamat kos miliknya, Gama juga berkata akan sampai tiga puluh menit lagi, kalimat itu membuat Nara bangun dari malasnya, memandang jam dinding yang masih menunjukan pukul tujuh pagi.

Bangkit dan bersiap Nara meninggalkan kamar kosnya namun naas ia bertemu Jasmine.

“Ra?” panggil Jasmine.

“Eh, hai.”

“Nanti sore ke cafenya Kak Leo, yuk? Aku mau ngasih PJ,” jelas Jasmine dengan senyuman di bibirnya.

Pagi harinya sedikit hancur, namun tidak apa-apa Nara jadi memiliki alasan untuk tidak bertemu kedua manusia yang kini menjadi alasan sakit di hatinya, Nara pandang Jasmine dan mulai berucap. “Hari ini gue ada job, jadi kemungkinan nggak bisa hadir, nggak apa-apa kan?”

Sang lawan bicara sedikit memanyunkan bibirnya, mungkin sebagai tanda kecewa akan jawaban dari Nara. “Kita sampai malem kok, Ra.”

“Masalahnya gue juga sampai malam.”

“Yahh, ramai tau, Ra.”

“Uangnya gede tau, Min.” dengan sangat terpaksa Nara menggunakan kalimat itu untuk membuat Jasmine berhenti mengajaknya.

“Ya udah deh, semangat, ya?”
Nara balas kalimat itu dengan senyuman dan membalikan punggung untuk meninggalkan Jasmine yang kini tengah masuk kembali ke kamar kos miliknya.

“Lama banget?” tanya Gama saat Nara mulai membuka pintu mobilnya dan mulai menaruh kotak make up yang ia bawa.

“Ada urusan tadi,” jawab Nara sekaligus memasang seatbelt, “Kok pagi banget si, Kak?”

“Ke Bogor soalnya.”

Nara pandang Gama yang kini mulai melajukan mobilnya. “Deket itu mah.”

Gama menengok sekilas ke arah wanita di sebelahnya. “Jauh anjir.” Pria itu mengambil satu cup hot coffee yang ada di tengah-tengah mereka, “Nih sarapan lo,” lanjutnya.

“Sarapan tuh bubur, nasi uduk, roti kek, mana ada sarapan kopi? Bikin mules doang,” rengek Nara.

Gama yang mendengar kalimat yang terucap dari mulut Nara hanya bisa tertawa, bertanya bagaimana mungkin dirinya begitu cepat akrab dengan wanita ini. “Terima aja, nanti gue beliin yang lain.”

Laju mobil kini perlahan menjauh dari jalan Jakarta, lantunan musik yang terputar menemani mereka sepanjang perjalanan, obrolan tentang dunia fasion mendominasi percakapan, lebih tepatnya Nara yang menaruh banyak atensi dengan pekerjaan yang Gama tekuni. Wanita ini lupa akan masalah hatinya, iya, saat ini Nara menikmati waktunya tidak tahu jika sore nanti.

Kini keduanya telah sampai, Bogor pagi ini cukup cerah, seperti biasa matahari tanpa malu menampakan diri dengan kuasa yang ia miliki.

Perkenalan singkat Nara dengan seorang wanita yang akan menjadi customer-nya hari ini. Nara sibuk dengan tugasnya, jemarinya dengan cekatan memilih peralatan dan mulai menyusun barang mana yang akan ia gunakan untuk merias wanita cantik dengan bola mata indahnya.

Saat selesai, Nara tidak lupa memberi ucapan selamat dan dan sedikit doa agar dilancarkan hingga hari pernikahannya.

Nara dan Gama ikut menyaksikan acara lamaran kedua mempelai itu, cukup lama mereka ikut ambil moment di hari bahagia milik orang lain. “Mau balik?” Gama bertanya dengan suara yang berbisik.

“Belum kelar, itu kan temen lo kenapa pengen buru-buru balik?”

“Gue nggak enak sama lo, Nar.”
Nara tersenyum dan memandang Gama yang duduk di sebelahnya.

“Santai aja.”

Keduanya kembali terlarut dalam acara bahagia itu, tidak butuh waktu yang lama untuk mencapai ujung acara, Nara dan Gama kini pergi meninggalkan area tersebut, pria itu berniat membawa Nara mampir ke sebuah kedai makan. Keduanya saling mengabadikan moment masing-masing.

“Nama akun twitter lo?” tanya Gama.

“Narayaaaa, a nya empat.”

“Ya jangan di tag juga anjir!” seru Nara saat melihat notifikasi twitternya berbunyi. Ia buka applikasi itu untuk sekedar menekan tombol follow di akun Gama. Tanpa sadar jemarinya mulai bermain di layar tersebut, menampilkan beberapa moment Jasmine dan Arjuna yang saling membalas tweet juga beberapa foto yang mereka pamerkan di social media. Cemburu itu menguasi hati, Nara cari pilihan mute untuk kedua akun tersebut.

Tidak pernah terpikirkan olehnya jika harus di hadapkan antara sahabat dan orang yang disukai, Nara tidak pernah bisa jika diminta memilih, namun saat ini Nara tidak di hadapankan oleh dua pilihan itu tetapi Nara dipaksa melupakan orang yang ia sukai demi senyum sahabat yang kini ia hargai.

Pilihannya hanya satu yaitu mengikhlaskan.

Konsetrasinya membuyar, kini nama Pandu tertera di layar ponselnya.

“Tumben?” tanya Nara kepada adiknya.

“Perkembangannya gimana?” suara di ujung sana bertanya dengan nada yang sedikit serius.

“Harus lebih sering nyibukin diri, pelan-pelan gue belajar ikhlas dan mudah-mudahan lupa.” Nara tidak lupa terkekeh.

“Ikhlas itu susah loh, kak, butuh waktu yang cukup lama biar jadi terbiasa tapi bakal sulit kalau lo aja masih ada di sekitar mereka.”

“Ya terus harus apa?” tanya Nara yang kini menundukan wajahnya.

“Pindah Kak, ke Bandung aja,” saran Pandu.

“Kuliah gue? Apa gue pindah kamar kos aja kali, ya?”

Pandu menyetujui ucapan Nara, adiknya juga tidak ingin sang kakak terlarut dalam patah hati yang terus menerus dirinya ciptakan.

Pandangan Nara kembali terangkat kini ia lihat Gama dengan serius memandangnya. “Gue lupa lagi main sama teman, gue matiin ya, nggak enak, salam buat bapak sama ibu.” dipencetnya tombol berwarna merewah di layar ponselnya.

“Sorry Kak.” Nara tersenyum kecut.

“Lo lagi ada masalah, ya?” tanya Gama serius.

“Sedikit, hehe.” Nara menjeda kalimatnya, “Oiya, makasih ya Kak buat jobnya.”

“Gue yang seharusnya bilang makasih, soalnya lo yang bantu gue.”

Nara tersenyum. Topengnya terpasang lagi, menelan kembali gundah yang habis ia rasakan, menarik napas dan mencoba memberanikan diri meminta job lainnya kepada pria yang sedang asik menenggak minuman miliknya. “Gue boleh minta tolong nggak?”

Gama mengangkat kedua alisnya seakan memberitahu Nara untuk melanjutkan kalimatnya. “Gue butuh kerjaan Kak, apapun di bidang fashion gue bisa, memang nggak tau diri gue ini, abis dibantu sama lo malah minta lebih, kalau lo atau temen lo ada lowongan ajak gue, boleh?” tutur Nara dengan wajah yang memelas, dirinya bertekat untuk menyibukan diri, ia akui dirinya pengecut, hatinya tidak lapang namun dengan cara ini seorang wanita yang kini hanya berharap bisa menepikan diri dari dalamnya rasa sakit.

Atensi Gama teralih. “Kayaknya ada, bentar gue hubungin panitianya dulu.”

Ada sedikit rasa lega di hati Nara. “Ada event keliling Jawa, enggak se pulau Jawa si, tapi beberapa kota besar, mau?”

Tanpa pikir panjang Nara menyetujuinya. “Lo ikut?” tambahnya.

“Iyalah, brand baru gue juga butuh promosi,” jawab Gama.

Nara banyak mengucapkan terima kasih kepada Gama atas bantuan yang ia terima hari ini, tekadnya bulat dalam hal menyembuhkan, job yang membuat dia sibuk juga pindah kos menjadi langkah pertamanya.

Wanita ini yang terlanjur terjatuh pada ekspetasi yang dirinya buat sendiri, serakah yang pernah menghampiri, menginginkan sosok Arjuna untuk dimiliki, harap yang terbentang tentang rasa yang berbalas nyatanya saat ini hanya angan yang terlalu bebas melambung.

Kini dirinya hanya bergantung dengan usahanya untuk menyembuhkan.

feel so fine [END]Where stories live. Discover now