42. Pamitnya Rasa

11.6K 582 16
                                    

“Juna! bangun bajingan,” maki Leo kepada Arjuna yang kini berada di ambang batas toleransi alkoholnya.

Tipsy?” tanya Gama yang baru hadir di antara mereka.

“Pake nanya! Bantuin anjing!”

“Ogah, Nathan mana?”

“Toilet,” jawab Leo singkat.

Arjuna mulai meracau, kadang tersenyum juga tertawa tanpa sebab, yang lebih mengherankan kedua temannya ini ialah Arjuna memanggil sebuah nama yang familiar bagi mereka.

“Gila kan temen lo ini? Putus sama siapa yang dipanggil namanya siapa!” ledek Nathan yang baru datang dan langsung membatu membopong Arjuna menuju mobil Leo.

“Balik?” tanya Gama sekali lagi.

“Gam! Dari tadi pertanyaan lo ngeselin tau nggak?”

Gama hanya tertawa melihat kelakuan temannya. “Ya udah sana, nyetirnya hati-hati, Le.”

Dengan susah payah Leo dan Nathan membopong sahabatnya. “Bawa ke mana?” tanya Leo yang kini mulai menjalankan mobilnya dan meninggalkan Bar yang berada di daereh Kemang.

“Rumah Tio,” jawab Nathan yang kini mengurus Arjuna di jok bagian belakang.

“Lo bego, ya? bisa di cincang si Juna!”

“Bawa ke rumahnya bisa lebih mampus lagi!” seru Nathan sembari mengambil ponsel dari tangan Arjuna. “Rumah Dean aja,” usulnya.

“Nara masih nginep di sana! Rumah gue aja dah,” simpul Leo.

Setelah perdebatan tersebut keduanya kembali fokus pad jalan.

“Si dongo malah nelpon Nara!” sentak Nathan saat melihat nama Nara terpampang jelas di layar ponsel Arjuna. Segara ditekannya tombol berwarna merah oleh Nathan,
Leo dan Nathan terkekeh bersama. “Ini nih bocah bodoh yang salah ambil keputusan, bocah bodoh yang buta akan kenyataan,” ungkap Nathan tegas.

Menerka perasaan asli seorang Arjuna Bagaskara tidaklah sulit, nyatanya malam ini Nathan dan Leo sudah paham siapa wanita yang kini mengisi hati sahabatnya itu.

Beberapa hari telah terlewati, persiapan sudah ia lakukan, kini Nara mengelap keringat yang menetes di plipisnya. siang ini adalah hari dimana dirinya akan meninggalkan kota Jakarta dengan segala ceritanya.

Memang belum lama Nara menempati kamar ini, namun kamar ini selalu menjadi saksi bisu kala tangis menemaninya, ruangan dengan tembok putih menjadi tempat bercerita tentang beratnya hidup, juga tentang Nara yang tertawa akan guyonan kecil yang ia lihat di layar ponselnya.

“Ra, udah semua?” tanya Dean yang berdiri di ujung pintu kamar kos Nara.

Nara yang baru saja selesai menutup ranselnya langsung menengok ke arah sumber suara.

“Udah. Ayo, Kak?” ajak Nara.

Mobil yang dikendari Dean melesat membelah jalan Ibukota, Faya duduk di depan menemani Dean menyetir, sedangkan Nara sibuk dengan gundahnya.

Saat ini mereka telah sampai di Bandara, Faya dan Dean mengantar Nara mencari bahagia di Yogyakarta.

“Udah kabarin Ina?” tanya Faya serius.

“Udah.”

“Ra,” panggil Faya lembut.

“Ih jangan sedih, gue aja senyum dari tadi,” rayu Nara dengan matanya yang berbinar.

“Sini.” Faya mengajak Nara kepelukannya.

“Adik gue ini udah dewasa, ya? Dia tau batasan dirinya, dia tau kapan harus berjuang, kapan harus bertahan, juga kapan harus menyerah, yang lebih kerennya lagi, dia tanggung semua sakitnya sendiri.”

Nara merasakan punggungnya di usap secara perlahan.

“Kak?” panggil Nara yang masih dalam pelukan Faya.

“Ketika orang lain didewasakan keadaan, dia didewasakan oleh rasa sakit,” ucapan Faya tertahan karena air mata yang memaksa keluar. “Jika di sana lo kesusahan, tetep bertahan, ya? Hubungi gue ataupun Dean, nanti kita ke sana, temuin lo,” tambahnya.

Nara yang mendengar dengan seksama semua perkataan dari Faya hanya dapat tersenyum. Di saat Arjuna mengetahui akan rasanya, Nara memilih pergi, Nara memilih mengobati hati.

“Kak Faya, gue titip Jasmine, ya? dia nggak punya orang lain di Jakarta, temenin dia, Kak,” pinta Nara dengan lembut.

“Iya, pasti, nanti kalau kalian ketemu lagi, gue harap semuanya udah sembuh, ya?”

Nara mengengguk kasar, ia berusaha menhapus jejak air mata dan mulai menjauhkan tubuhnya dari dekapan Faya .

“Gue juga mau peluk,” kata Dean dengan senyumnya. Rengkuhan lembut dirasakan Nara, rambut yang disentuh perlahan dengan jemari Dean yang panjang.

“Kemarin usahanya gagal, sekarang mulai lagi ya, manis.”

“Iya.”

“Nanti ketemu lagi dengan hati yang jauh lebih ikhlas ya, Ra?”

“Iya Kak Dean.”

Nara melepaskan rengkuhan Dean, memandang Faya yang tengah berdiri disamping lelaki itu, Faya tersenyum dengan cantiknya. Kini ia tahu bahwa tidak seharusnya menangis, karena perpisahan ini adalah obat bagi sepupunya.

Di keluarkan sebuah kotak dari tas hitam yang Faya kenakan.
Nara pandang kotak kecil itu, kotak dengan ratusan kata keputusasaan akan cintanya untuk seseorang, kotak yang ia tinggalkan dengan sengaja kini kembali kepada pemiliknya.

“Akhiri sendiri,” kata Faya dengan senyum lembutnya.

Nara ambil kotak itu. “Bye, gue pergi ya, Kak?” Senyum itu nyata, terlihat indah namun terdapat perih di dalamnya.

Faya dan Dean hanya mampu menatap punggung Nara yang perlahan menjauh.

Happy Nara, Happy me,” ucap Faya.

“Sampai nanti anak manis,” pamit Dean.

Keduanya saling memandang dan berbagi radar. “Gue laper.”

“Lo mau makan apa?” tanya Dean sembari menepuk puncak kepala Faya.

Kedua sahabat ini melangkahkan kaki meninggalkan Bandara dan segera mencari kedai makanan di perjalanan.

Di sisi lain, Nara yang berjalan menuju pesawat, mendudukan diri di kursinya dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya, netra itu memandang ke arah luar dan berkata perlahan.

“Jakarta, gue titip rasa sakitnya, ya?”

“Saat ini wanita manis yang duduk di sini bukan menyerah, tetapi memulai kembali. Wanita manis ini dengan tekatnya untuk menyembuhkan hati.”

“Arjuna Bagaskara, mari jangan bertemu lagi.”

Luka itu perlahan menjalar dan menetap, berharap sembuh dan hilang. Jika nanti saat mulai mengobati, ada sepucuk rindu yang hadir kembali, tetaplah bertahan tanpa berjalan, mungkin rasanya akan sakit tapi percayalah bertemu kembali saat semuanya belum terobati hanya memberi ruang untuk luka itu datang lagi.

feel so fine [END]Where stories live. Discover now