STRUGGLE • 06

20 3 31
                                    

- Berdua -

Sore-sore Gilang duduk di dipan panjang halaman depan rumah nenek di temani buku-buku dan laptop yang ia bawa dari kota. Bersama sang ayah yang membantu dirinya mengerjakan tugas dari dosen.

Setelah lulus sekolah menengah atas Gilang memutuskan untuk kuliah online namun sesekali ia akan datang ke kampus hanya untuk mengumpulkan tugas yang memang harus dikumpulkan langsung. Untungnya saja Bryan adalah seorang guru jadi tidak sulit bagi Bryan menemukan dosen privat untuk mengajari putranya mata pelajaran kuliah.

"Bapak bisa ngomong sama, Ayah?" Suara si dosen terdengar dari arah laptop Gilang yang sedang melakukan zoom pelajaran.

Mendengar dosen bicara seperti itu, Bryan langsung melongokkan kepalanya agar terlihat di kamera.

"Gilang, Bapak mau ngobrol dulu sama Ayah ya? Kamu kerjakan saja tugas yang sudah Bapak kasih. Paham?"

"Paham, Pak." Setelah merasa selesai bicara dengan dosen Gilang menjauh dari hadapan laptop, membiarkan sang ayah dan dosennya bicara berdua. Namun bukannya menuruti apa yang di perintahkan oleh dosen, Gilang malah berjalan menjauhi pelataran rumah nenek. Agaknya jalan-jalan sore di desa merupakan suatu hal yang bisa Gilang nikmati, apalagi angin di sini sangat sejuk dan sawah subur di ladang milik nenek yang sangat memanjakan mata.

Tidak mau melewatkan momen ini Gilang mencoba memfoto pemandangan desa untuk diperlihatkan nanti kepada Arum ketika ia sudah kembali ke kota. Mulai dari mengambil gambar bebegig sawah, kolencer angin, gubuk di dekat sawah, juga memfoto dirinya sendiri yang sedang berada di sawah.

Menyusuri jalan desa sendirian akhirnya sampai di tempat awal Gilang menapaki kaki di tanah desa ini. Di sana ada pohon besar yang bergantung ayunan kayu. Gilang mencoba menghampiri dan duduk di ayunan itu sambil menikmati waktu yang semakin lama semakin menunjukkan petang. Memejamkan mata sambil menghirup udara segar yang disuguhkan oleh alam kemudian menghembuskannya perlahan dilengkapi dengan satu senyuman dari wajahnya yang tampan.

"Ternyata tinggal di desa senikmat ini ya." Gumamnya seorang diri.

Pandangannya dibawa mengawang ke arah langit biru tanpa serpihan awan. Lagi-lagi Gilang tersenyum sambil berujar, "Rum, suatu saat kamu harus ke sini. Pemandangan seindah ini ga lengkap kalo ga ada kamu."

Selama kurang lebih tiga bulan tinggal di desa, pikiran Gilang tidak jauh dari wanita yang dicintainya, Arum. Gilang benar-benar merindukan kehadiran Arum di setiap harinya. Mungkin jika saat ini sedang ada Arum di sisinya Gilang akan bermanja dengan sang kekasih mulai dari merengek ingin di suapi makanan ataupun mendekap hangat tubuh Arum. Haha, ternyata Gilang akan menjadi seperti anak kecil jika bersama dengan Arum. Sayangnya sikap manis Gilang hanya bisa di nikmati oleh Arum seorang.

Sedang asyik memikirkan sang kekasih tiba-tiba saja ayunan yang sedang di duduki oleh Gilang maju ke depan seperti ada yang mendorongnya. Itu membuat Gilang melonjak kaget dan langsung pegangan pada tali ayunan.

"Siapa sih?!" Tentu saja Gilang merasa kesal akan perbuatan seseorang itu.

"Hehe maaf, Kak." Oh ternyata Azzam yang waktu itu sempat bertemu dengan Gilang di pesantren.

"Azzam? Ngapain di sini?" Bagaimana bisa marah jika bocah setampan Azzam yang melakukannya?

"Um, aku bosen di pesantren jadi aku ke sini," Jawab Azzam jujur, "Kakak ngapain di sini? Kakak ini yang waktu itu ikut sama Kak Husain kan ke pesantren? Kok bisa ada di sini?"

Gilang berdecak sambil tersenyum. Dirinya di bawa turun dari ayunan kemudian menaikkan Azzam agar duduk di ayunan tersebut, "Kalo nanya satu-satu aja. Bisa?"

STRUGGLE Where stories live. Discover now