STRUGGLE • 24

14 5 0
                                    

- Bahagia Sederhana -

"Matiin aja, Yah." Bersamaan dengan terdengarnya suara Gilang, siaran berita yang sedang Bryan tonton ikutan mati.

"Sensi banget," Gumam Bryan, "Sesuai berita yang tadi Ayah denger katanya jalan utama udah bisa di lewatin beberapa hari lagi."

Gilang berdecak kemudian menyenderkan punggungnya di sofa, "Udah keburu lumutan aku kangen sama Arum, Yah."

"Ya kamu telepon Dicky dong dia kan udah balik ke kota."

Mendengar nama Dicky seketika membuat mimik wajah Gilang berubah menjadi tambah kusut. Mata cowok itu menyinis kemudian menjawab, "Dicky sibuk sama urusan bisnis Ayahnya. Setiap aku telepon jarang banget di angkat, sekalinya di angkat cuma bisa ngomong beberapa detik doang. Malesin."

"Mark?"

"Apalagi dia?!" Balas Gilang cepat, "Mark tuh lagi otw jadi dokter, pasti sibuk."

"Ya udah sabar aja nunggu, nanti juga ketemu sama semuanya."

Respon Gilang hanya tarikan napas pasrah. Habisnya mau bagaimana lagi? Gilang juga tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu dan menahan rindu kepada Arum maupun teman-teman yang lainnya di kota.

"Kamu udah jarang main ke pesantren, Lang." Papar Bryan setelah sebelumnya menyeruput kopi yang sudah di buat oleh keahlian tangannya sendiri.

Gilang menoleh seketika, lalu diam beberapa detik dan berujar, "Iya juga ya. Aku kangen sama Azzam."

Kepala pria hampir tua itu manggut-manggut pelan, "Sekalian pamit sama Azzam kalo kamu mau balik ke kota."

"Ya udah mending aku ke pesantren dulu ya, Yah?" Ujar Gilang, langsung beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar rumah nenek menuju pesantren.

Satu langkah dari pintu utama rumah nenek, Gilang sudah disuguhi penampakan pohon mangga tempat ia mengerjakan tugas dan bersantai ketika bingung mau melakukan aktivitas apa. Apakah Gilang akan sangat merindukan tempat ternyaman itu? Karena selain teduh, angin sepoi-sepoi juga kerap menambah suasana nyamannya. Setelah melangkahkan kaki beberapa langkah menjauhi rumah nenek, Gilang melihat kerbau yang sedang digunakan untuk membajak sawah. Seketika otaknya dibawa mengingat Dicky yang bercerita bahwa ia pernah menaiki kerbau dan itu rasanya sangat bahagia, sedangkan Gilang sendiri yang sudah lebih lama tinggal di desa belum pernah mencoba untuk naik kerbau.

Berjalan seorang diri sambil beberapa kali menyuguhkan senyuman kepada para pekerja nenek yang Gilang temui di jalan. Awal-awal berada di desa, Gilang sama sekali tidak pernah menunjukkan senyumannya kepada siapapun, namun setelah melihat bagaimana mba Ica, om Rendi, ataupun Husain berinteraksi dengan para pekerja nenek maka Gilang ikut menirukannya. Mereka akan tersenyum setiap bertemu dengan orang lain. Itu yang Gilang lihat.

"Eh, Nak Gilang." Atensi cowok itu beralih ke gubuk di pinggiran sawah saat ada yang memanggil namanya. Ternyata itu para pekerja yang sedang beristirahat.

Tak tanggung-tanggung Gilang langsung melangkahkan kakinya ke arah gubuk. Tidak sopan kan jika kita pergi begitu saja setelah dipanggil seperti tadi. Setelah sampai Gilang langsung di sambut ramah dengan para pekerja, diberi space kosong untuk cowok itu duduk.

"Ayo silakan makan ini makanannya masih banyak loh. Kamu udah makan?" Sosor salah satu dari pekerja itu.

Gilang tersenyum, "Ga perlu, Bu. Lagian aku mau ke pesantren."

"Oh pesantren tujuannya. Mau ketemu Husain ya?" Tanya pekerja yang lain. Jawaban Gilang hanya menganggukkan kepala pelan, "Kamu sama Husain tuh perbedaannya ga banyak. Kamu ganteng, kulitnya putih, matanya kalo senyum jadi ilang," Semua orang di gubuk termasuk Gilang seketika tertawa saat mendengar kalimat terakhir, "Sedangkan kalo Husain itu wajahnya manis, kulitnya juga hitam manis, apalagi kalo dia senyum, udah deh bisa diabetes kita yang liatnya."

STRUGGLE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang