STRUGGLE • 23

15 3 0
                                    

- Menunggu? -

Tepat pukul 23.00 Gilang sampai ke rumah nenek. Ketika ia membuka pintu ternyata sudah ada Bryan yang menunggunya di ruang tengah, Gilang yakin ayahnya khawatir dengan apa yang terjadi pada Dicky. Secara waktu berpamitan Dicky tidak sempat menjelaskan apapun kepada Bryan.

"Kenapa sama, Dicky?" Tebakan Gilang tak meleset sedikitpun.

Tubuh jangkung remaja tanggung itu dibawa duduk untuk mengistirahatkan punggungnya dan merenggangkan otot-otot tubuhnya karena telah menyetir cukup lama. Napasnya terdengar sangat lelah membuat Bryan berinisiatif untuk membuatkan teh hangat untuknya. Ayah yang sangat perhatian. Tak tunggu lama entitas Bryan muncul dengan membawa teh yang asapnya masih mengepul tebal. Tentu saja Gilang akan tergiur dengan harum teh buatan Bryan. Cowok itu langsung menyeruput tehnya setelah beberapa kali meniupnya, lalu kembali menghembuskan napas lega. Bryan hanya diam memperhatikan Gilang.

"Bundanya kecelakaan."

"Kecelakaan?" Tentu saja Bryan akan kaget jika mendengar kabar buruk dari Gilang. Pantas saja tadi Dicky sangat buru-buru dalam berpamitan, ternyata ini menyangkut tentang bundanya. Dicky sebenarnya anak yang cukup dekat dengan sang ibunda jadi wajar jika ia panik seperti yang Bryan lihat beberapa jam lalu.

"Terus kenapa kamu biarin dia ke kota sendirian? Naik pesawat lagi. Kamu tau kan dia orangnya panikan?" Sudah Gilang duga, pasti Bryan akan khawatir dengan keadaan Dicky yang dibiarkan sendirian naik pesawat.

"Tadi juga..."

"Di mobil ada kejadian?" Potong Bryan cepat.

Mata hitam legam khas Gilang menyinis diam-diam. Untuk apa ia menjelaskan jika Bryan sudah bisa menebak apa yang terjadi? Huh.

"Hm. Tadi Dicky emosi sama aku karena bawa mobilnya lama, ya udah akhirnya ga tanggung-tanggung aku cepetin aja mesin mobilnya. Diem juga dianya."

Gilang melihat kepala Bryan menggeleng keheranan dengan sikap Gilang seperti ucapannya, "Kamu kan tau mobil Dicky itu mobil sport, masih kebut-kebutan aja sih?"

"Ya gimana aku ga ngebut, Yah orang Dicky aja panikan kaya gitu. Tapi abis itu aku langsung tenangin dia ko, Ayah tenang aja."

Bryan menghela napas pasrah. Entahlah dirinya memang tidak bisa melarang Gilang untuk tidak kebut-kebutan di jalanan. Putra tunggalnya yang satu itu memang susah di kasih tau kalo soal membawa kendaraan.

"Ya udah sekarang kamu tidur biar besok badannya pada enakan."

Gilang mengangguk lemas. Matanya juga sudah mengantuk ingin segera cepat-cepat tidur tapi langkahnya menuju kamar seketika terhenti saat mengingat sesuatu. Ia berbalik dan menemukan Bryan di belakangnya, "Besok langsung pulang ke kota bisa kan?"

Sayangnya Bryan tidak langsung menjawab pertanyaan Gilang. Pria hampir tua itu malah lanjut berjalan mendahului Gilang.

Kriiiitttt

Masuk ke kamar diikuti Gilang dibelakangnya, "Yah, pulang ke kota kan?" Sosor Gilang dengan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.

"Tuh semua udah Ayah beresin." Jawab Bryan seraya menunjuk pojokan ruang kamar yang nampak beberapa koper miliknya sudah dikemas rapih.

Tentu saja soca hitam legam khas Gilang akan bersinar saat melihat apa yang di tunjukkan oleh Bryan, "Yesssss!!! Thank you, Ayah." Ucapnya kemudian memeluk Bryan erat-erat. Ayahnya betul-betul tau apa yang Gilang inginkan dan sepertinya rasa lelah yang tadi Gilang rasakan jadi hilang begitu saja. Gilang yakin malam ini dirinya akan mimpi indah karena keesokkan harinya ia akan pulang ke kota menemui Arum. Sudah tiga tahun berpisah dengan Arum tanpa komunikasi, itu membuat Gilang selalu terlihat seperti orang gila yang ngomong sendiri sambil menatap foto Arum.

STRUGGLE Donde viven las historias. Descúbrelo ahora