STRUGGLE • 08

14 3 0
                                    

- Ayah Bryan -

Cuaca siang di desa saat ini sangat cerah, matahari menunjukkan sempurna bagiannya membuat seorang remaja tanggung yang memiliki rambut gondrong mengikat full rambutnya dan menjadikan kardus bekas mie instan yang di robek sebagai kipas. Sumpah, Gilang tidak tahan dengan panas di desa ini.

"Laanggg." Itu suara Bryan yang berasal dari dapur. Ngomong-ngomong Bryan sedang membantu nenek dan mba Ica menyiapkan makanan untuk para pekerja di ladang maupun di empang milik nenek.

"Kenapa, Yah?" Menghampiri sang ayah di dapur dengan keadaan baju basah karena keringat dan celana pendek selutut.

"Mau kamu yang anter?" Tanya Bryan. Mata hitam legamnya menunjuk ke arah makanan yang sudah siap antar di meja makan.

Remaja tangung itu tampak menimang-nimang. Sebenarnya ia malas mengantar makanan ke ladang sawah ataupun ke empang, selain cuaca di luar yang bisa bikin kulitnya gosong, alasan Gilang malas mengantar juga karena dirinya yang tak suka dengan jalan yang ada di sawah. Sempit dan kotor.

Suara kekehan terdengar dari arah mba Ica, "Udah lah, Dek kasian anak mu itu kalo di suruh keluar siang bolong begini. Biar kamu sama Mba aja yang anter, ya Gilang?"

"E-eh, iya Bi." Respon Gilang sedikit gelagapan. Mba Ica memang paling mengerti apa yang Gilang mau dan rasakan.

"Gilang biar sama Nenek di rumah aja ya." Sosor nenek dari arah samping mba Ica, di angguki oleh dua orang lainnya.

"Ya udah kita berangkat ya, Bu." Pamit Bryan, kemudian mengambil beberapa baki berisi makanan untuk di antar ke para pekerja.

Setelah punggung Bryan dan mba Ica tidak terlihat lagi, nenek mengajak Gilang untuk duduk di dipan belakang rumah yang memberi pemandangan langsung ke arah sawah. Gilang tidak menolak, toh dirinya juga bingung mau ngapain lagi di desa seperti ini.

"Ayah mu itu orang baik," Entah nenek tiba-tiba bicara seperti itu. Gilang diam saja sambil tangannya tak henti mengipas wajahnya pakai sobekan kardus mie instan, "Bahkan sama orang yang baru di kenalnya saja dia baik, Nak."

"Pasti waktu dia jadi guru banyak anak murid yang akrab sama dia ya?" Tanya nenek.

Tapi Gilang malah tertawa kemudian lanjut geleng-geleng kepala tanda perkiraan nenek adalah salah, "Ga ada yang berani sama Ayah, Nek," Mengundang rasa penasaran sang nenek, "Nenek mau tau ga seberapa posesifnya Ayah ke aku?"

Nenek berkerut alis, "Apa itu posesip?"

"Posesif loh, Nek bukan posesip." Koreksi Gilang.

Nenek tertawa tidak sempurna, "Kasihan Nenek sudah tua sayang," Katanya sambil mengusap pelan pundak kokoh Gilang, "Memangnya apa posesip itu?"

"Posesif tuh kaya yang khawatiran gitu, Nek. Saking posesifnya aku sampe ga di bolehin deket-deket sama cewek loh."

Mendengar cerita Gilang membuat nenek teringat dengan sesuatu kemudian bibir yang sudah keriput itu tersenyum sumbang, "Mungkin karena, Bunda mu."

Bibir sebelah Gilang terangkat membentuk senyuman tipis, "Iya. Karena, Bunda." Jawabnya.

Kemudian suasana antara sang nenek dan cucu itu menjadi hening. Hanya suara pohon yang terdengar dibawa oleh angin sampai akhirnya suara Gilang kembali terdengar, "Tapi ga ada gunanya kan, Nek bahas Bunda? Beliau juga udah tenang di alam sana."

Nenek mengangguk setuju dengan ucapan Gilang, "Kenapa kamu bisa punya pacar kalo Ayah mu saja larang kamu dekat sama cewek?" Ternyata nenek berusaha mengalihkan pembicaraan.

Gilang mengedikkan bahu, "Insting seorang Ayah sama anaknya kuat loh, Nek." Jawab Gilang yang malah membuat nenek kebingungan.

"Ayah tuh tau aku dari kelas tujuh udah ngincer Arum, Ayah juga tau sebesar apa rasa sayang aku sama Arum makanya waktu aku pacaran sama Arum itu baik-baik aja."

STRUGGLE Where stories live. Discover now