23. Merindukan

100 5 0
                                    


"Waaah, perjalanan yang sangat melelahkan." Hera merebahkan badan di kasur empuk hotel bintang lima yang super mewah.

Keduanya tak langsung menuju apartemen di mana Sam tinggal, karena ada beberapa hal yang harus di urus pria pirang itu di daerah ini.

"Kau tidak ada niatan istirahat?" tanya Hera.

Sama sekali tak menoleh, Sam sibuk dengan sebuah tas berisi bahan pekerjaannya. "Aku tidak memiliki waktu istirahat. Setelah menyetujui permintaan Papa untuk kembali ke sini, aku harus menjadi lebih serius."

"Jangan jadi seperti Zeyn. Kau juga harus memperhatikan dirimu."

"Tentu saja."

Hera tak menyangka ia akan menyebut Zeyn lagi, tetapi memang benar jika dunianya selalu berputar diantara Zeyn dan Zeyn. Seolah Hera sungguh sulit untuk melepas takdir pernikahan dengan Zeyn.

Masih ada rasa yang tertinggal dalam benaknya. Perempuan itu mengelus perut ratanya, sebentar lagi bayinya akan tumbuh dan segera hadir menemani hari nya.

Hera bukan perempuan bodoh yang akan menyerahkan keturunan pertamanya pada keluarga licik itu. Jika tetap ngotot ingin memiliki bayi itu, maka Hera harus mengeluarkan cara terakhirnya untuk menyingkirkan Zeyn.

"Aku masih ada pekerjaan di daerah ini, ada sesuatu yang harus kuselesaikan. Tak apa kan kalau kita menginap di hotel dulu?"

Hera mengangguk, sementara Sam tersenyum tipis. Pria itu menghampiri Hera, lalu merebahkan diri di samping perempuan itu.

"Aku bisa berjalan-jalan dulu dan memakai waktu luang ini untuk bersenang-senang."

"Benar. Sebelum kau mulai belajar banyak tentang dunia bisnis, lebih baik urusi dulu perasaanmu."

Keduanya terdiam beberapa saat. Hera menatap wajah tampan Sam di hadapan. Pria itu membelai lembut rahangnya, mendekatkan wajah, lalu mencuri sebuah kecupan singkat.

"Astaga. Cantik sekali." Hera memejam, menahan panas yang menjalar di pipi kala Sam mencubit gemas pipinya.

Hera tak kaget lagi atas semua perlakukan sahabatnya yang memang selalu lembut, dan romantis. Sayangnya, ia bukanlah type perempuan yang mudah jatuh cinta atau baper. Mengapa hatinya masih menginginkan Zeyn sialan itu?

"Tidak, tidak." Hera menggeleng, ia ikut beranjak saat Sam berjalan menjauh dari ranjang. Pria itu memakai jas dan merapikan pakaian, siap untuk urusan dadakannya.

Hera mengelus lembut perutnya. "Aku jelas sudah tidak mencintai Zeyn lagi, itu pasti hanya perasaan bayi ini. Dia yang sangat ingin berdekatan dengan Papanya, bukan keinginan aku."

"Apa? Kamu mengatakan sesuatu?" Sam menoleh karena dengar Hera berujar samar.

Perempuan itu menggeleng, lantas tersenyum. "Tidak, jangan dipikirkan. Aku hanya ingin mengatakan hati-hati di jalan."

"Oh." Sam mendekat, pria itu menepuk pelan pucuk kepala Hera dengan penuh kasih. Kini Sam bertindak lebih berani dari sebelumnya. Meski belum resmi berpisah, Hera bukan lagi perempuan yang terikat dengan Zeyn.

"Tentu saja aku akan berhati-hati. Kau juga, jaga diri."

Setelah berucap, Sam pergi dari kamar hotel mereka. Seperti sebuah kesempatan emas, pria itu sengaja memesan satu kamar untuk mereka tempati jauh sebelum hari ini sampai.

Hera sebenernya bisa menyewa kamar sendiri, tetapi masih punya hati untuk mengabulkan permintaan Sam agar mereka menyewa satu kamar saja—asal pria itu tidak berbuat macam-macam padanya.



****



Sungguh, Hera bersyukur atas bebasnya ia dari Zeyn. Kini ia bisa berbelanja bebas, memilih apapun yang disukainya. Tak hanya terkurung dalam istana bak sebuah penjara, Hera kini bisa pergi kemanapun ia mau. Namun, dua memang begitu sempit, hingga ia dipertemukan dengan seorang perempuan berambut pendek yang tengah menggendong balita dengan kuncir dua.

"Hera!" pekik perempuan berambut pendek itu sembari melambai kegirangan.

Ingin rasanya Hera menghilang di detik ini juga, karena pengunjung mall elit itu seketika menoleh julid padanya. Memang bodoh, mengapa ia memilih berbelanja di mall khusus barang elit ini. Tentu saja perempuan itu berada di sana.

"Oh, hai," balas Hera.

"Wah, sudah kuduga kau akan pergi kemari. Sejak muda kau sudah mengatakannya berkali-kali bahwa kau ingin pergi ketempat ini, kan?"

Hera mengangguk. "Iya. Tapi ngomong-ngomong bagaimana kau tau kalau aku ada di sini?"

"Lisa tau dari Zeyn." Pria di samping si rambut pendek menjawab sembari mengambil alih gendongan pada pria kecil yang semula berada di gendongan Lisa.

"Aku mengerti, Zeyn pasti sangat sibuk. Jadi kau bersyukur saja meski hanya bisa berlibur seorang diri. Tenang saja, masih ada kami di sini."

Manik mata Hera membulat, menoleh pada Lisa yang justru tersenyum lebar. Masih ada rasa kesal dalam benak Hera, mengingat dulu Lisa adalah sahabatnya, tapi perempuan itu justru mendekati Zeyn yang saat itu berstatus sebagai tunangannya.

"Hei, kenapa kau merengut begitu?" Lisa merangkul Hera dari samping. "Lupakan saja masalalu, yang dulu itu kau hanya salah paham. Lagipula sekarang aku sudah bersama Bambam dan Bambi. Aku sudah punya keluarga yang lengkap."

"Itu, anak kalian?" tanya Hera.

"Iya. Kau sendiri juga sedang hamil, kan? Zeyn juga menceritakan itu padaku."

"Kalian masih berhubungan dengan Zeyn, ya? Padahal sudah lama berpisah."

Bambam mengangguk, tanggapi ucapan Hera. "Ya. Sejujurnya setiap kali mendengar cerita Zeyn tentang hubungan kalian, aku sering merasa iri. Kalian benar-benar pasangan idaman."

Langkah Hera terhenti. Tunggu dulu, mereka masih dekat dengan Zeyn tetapi tidak tau bahwa mereka akan bercerai? Apa Zeyn tidak memberitahu? Apa maksudnya pasangan idaman?

"Ada apa, Hera?" tanya Lisa.

"Tidak. Bukan apa-apa."

Hera sama sekali tak protes saat Lisa membawanya ke sebuah restoran Thailand. Pasangan itu memesan menu kebanggaan restoran untuk mereka dan Hera.

"Apa saja yang Zeyn bilang tentang kami?" tanya Hera, penasaran.

"Banyak," jawab Lisa. "Dia bilang dia sangat sibuk sampai harus menunda bulan madu kalian. Tapi beruntung karena kalian bisa berbulan madu ke resort dekat pantai yang tenang, itu jauh lebih baik. Dia bilang kamu sedikit ngambek karena dia tidak bisa berlibur bersama, apa benar?"

Hera terdiam. Ia seolah hampir tak percaya Zeyn tak selalu menjelekkannya. Pria itu masih menyanjungnya di hadapan Lisa dan Bambam, meski dengan tujuan tertentu. Dan untuk bulan madu di resort itu, Zeyn bersama Angelia, bukan Hera yang apa adanya.

"Kami memang terlihat bahagia bukan? Tapi kepergian ku kemaro bukan hanya karena sekedar merajuk. Tapi karena kami akan segera bercerai."

"Bercerai?!" Lisa dan Bambam berujar bersamaan, terkejut. Keduanya melotot tak percaya, menatap Hera, sebelum netra mereka pada akhirnya bertemu.

"Yang terlihat indah, tak selalu indah. Begitupun hubungan kami."

"Hera, kurasa ini masalah serius sampai kau akan bercerai dengan Zeyn. Aku kenal siapa kamu, jadi ceritakan ada apa? Mengapa Zeyn membohongi kami?" Lisa menuntut jawaban atas pertanyaannya. Dan perempuan itu tak akan berhenti sampai jawaban didapatnya.

Sayangnya Hera telah berjanji. Meski tujuannya mempermalukan keluarga Abigail, ia tak akan memperburuk dan membeberkan semua kesalahan Zeyn. Cukup sampai pria itu terpukul dan hancur karena rasa bersalahnya sendiri.

"Dia bukan pria yang pantas dipertahankan."

"Kau kan hamil? Kau akan tetap bercerai dengan keadaan begitu?" kali ini Bambam yang bertanya dengan raut tak kalah serius dari Lisa.

"Ya. Aku tidak hanya menceraikannya, tapi juga menganjurkan hatinya. Aku tidak bisa terus bermain-main dengan cinta, dan menjadi budak yang selalu berlutut memohon cintanya. Dia tidak pernah mencintaiku, itulah mengapa dia sangat benci setiap kali melihat wajahku."

"Itu sangat bertentangan dengan sikapnya setiap kali bertemu dan melakukan panggilan dengan kami," gerutu Bambam.

"Kata papa, pernikahan itu bukan mainan. Ketika sudah mengucap janji suci, kalian telah terikat satu sama lain. Sekalipun telah menikah lagi atau kabur kunjung dunia, kalian tetap berada pada benang takdir."

Tak hanya Hera yang kaget, pasangan orang tua itu spontan menoleh pada putranya yang duduk mandiri di samping.

"Bambi sangat dewasa, ya," kata Hera.

"Tentu saja!" Bambi berujar bangga. "Sebenarnya Bambi selalu dengar Papa mengatakan begitu saat Mama marah."

"Heh sembarangan. " Lisa menutup mulut putranya sembari tersenyum canggung pada Hera.

Benar apa yang bocah itu katakan. Pernikahan bukan permainan, tetapi tak ada keseriusan dalam ikrar janji yang Zeyn ucapkan.

"Entah mengapa, tiba-tiba aku merindukan Zeyn."

Setetes air mata turun dari pipi Hera, ia mengusap pelan perutnya, coba menahan deguk tangis.

The Loveliest RevengeWhere stories live. Discover now