25. Hari Lahir

89 5 0
                                    


Tak butuh waktu lama untuk Sam sampai di apartemen Lisa, yang membuat lama adalah waktu untuk ia membunyikan bel. Ragu, sekaligus gengsi.

Tadi ia marah-marah dan sewot pada dua pasangan itu, lalu sekarang ia membutuhkan bantuan mereka. Memang benar, manusia tak akan pernah lepas dari tolong menolong. Semua terhubung dalam garis takdir.

Dari dalam, Bambam menatap monitor kecil di tembok yang memperlihatkan Sam tengah mondar-mandir di depan pintu mereka.

"Lisa, coba lihat ini. Kenapa di posesif itu kemari? Jangan-jangan dia masih dendam sama kita, firasatku buruk," gumam Bambam.

Lisa mengernyit bingung, dari tampang frustrasi itu, Sam memang pantas dicurigai. Apalagi ia hanya berjalan ke sana-kemari, sesekali ia hampir menekan bel, tetapi sengaja urungkan niat.

"Hah, sepertinya dia menelepon seseorang. Apa mungkin dia telepon antek-anteknya untuk mendobrak apartemen kita?" Lisa tak kalah panik dengan suaminya.

Keduanya saling tatapan, lalu pandangan teralihkan pada buah hati yang tengah tertidur lelap di sofa ruang tengah setelah lelah seharian berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama keluarga.

"Pokoknya kamu amankan saja Bambi, aku akan urus mereka."

"Kamu gak bisa sendirian, Bambam. Aku akan ada di sisi kamu sampai tetes darah terakhirku."

"Lisa, dengarkan aku." Bambam memegang pundak Lisa, lalu mengecup kening perempuan itu. "Aku ingin kamu menjaga Bambi, jika kamu mendengar jeritanku, segera bersembunyi dengan Bambi. Aku yakin, ada pistol tersembunyi di balik jas psikopat itu."

Ting tong!

Panik. Dua sejoli itu berpelukan sejenak, sebelum Lisa berlari ke ruang tengah, lalu mengangkat putranya menuju kamar. Dramatis.

Sementara Bambam menghadapi Sam di depan pintu. Canggung, tak ada yang berucap sampai si pirang memutuskan untuk berujar lebih dulu.

"Aku datang kesini untuk--"

"Aku tau!" Potong Bambam. "Kau psikopat, kau pasti datang karena masih marah karena kami pergi dengan Hera, kan? Kau bisa saja menyiksaku, tapi kau tidak akan menemukan anak dan istriku di sini!"

"Jadi Lisa tidak ada?" tanya Sam.

Bambam mengangguk dengan raut bingung, wajah Sam semula memang terlihat serius, tapi kini seolah tengah menahan tawa di bibir.

"Sebenarnya aku datang untuk menemui Lisa. Aku ingin dia membuatkan nasi goreng spesial untuk Hera."

"Bwahahaha!" Bambam tertawa lepas, hingga terdengar oleh Lisa yang tengah menepuk pelan pantat Bambi, gadis itu sempat menggeliat kala dengar gelegar tawa Bambam yang tak tau kondisi.

Lalu apa? Lisa harus sembunyi atau keluar? Apakah tawa menggelar itu termasuk teriakan?

Lisa sedikit berlari dengan membawa tongkat baseball, sudah bersiap menghantam kepala Sam jika pria itu berani menyakiti suaminya.

"Lisa, ternyata dia tidak datang karena dendam, tapi karena nasi goreng spesial buatanmu," jelas Bambam.

Spontan Lisa menjatuhkan tongkat baseball di tangannya, perempuan itu menatap Sam dan suaminya bergantian. Dengan cepat ia menarik rambut Bambam, memberi pukulan di dada dan punggung pria itu tanpa ampun. Kesal.

Bambam selalu saja mendramatisir segala sesuatu di sekitar mereka.

"Kau berani datang ke sini untuk menyaksikan secara langsung kemampuan memasak istriku?"

Setelah beberapa saat lalu merasa ciut, kini Bambam bisa bersuara lantang dan mendesak Sam hingga terpojok.

Sam menggeleng. Ia sama sekali tak penasaran dengan duo weird ini, tetapi cukup menghibur. Jika bukan karena perasaannya pada Hera yang begitu dalam, tak mungkin Sam mau memohon hanya untuk sebuah masakan sederhana.

"Apapun keinginan kalian akan kuturuti, apapun itu."

"Ah, itu bukan masalah berat. Aku hanya melihat kau begitu tulus pada sahabat kami, jadi aku tidak akan meminta materi," jelas Lisa.

"Iya. Kau hanya perlu melakukan push up 80 kali, Lisa akan memberikan nasi gorengnya."

Tak ada penolakan, Sam yang melihat Lisa berjalan ke dapur untuk mempersiapkan bahan pun seketika menyetujui ucapan Bambam dengan anggukan. Terserah Bambam, dia yang menghitung.

"50, 51, 51, 51, 51."

"Woi, yang benar saja! 54!" kata Bambam dengan kesal.

"Terserah, sesuaikan saja dengan hitunganku."

"Sialan!"

Bogeman Sam hampir mendarat di wajah Bambam, jika saja Lisa tak datang dengan sebuah nasi goreng di kotak bekal. Di samping perempuan itu, sudah berdiri Bambi dengan wajah khas bangun tidur.

"Bisa tidak kalian berhenti bertengkar? Ayo Sam, lanjutkan. Aku akan menghitung."

Sam tak yakin, masalahnya Lisa tak jauh berbeda dari Bambam. Benar saja, perempuan itu menghitung dengan benar, tapi meletakan putrinya di punggung Sam. Menambah beban saja.



****



Manik mata Hera membulat dengan binar yang selalu dikagumi Sam. Perempuan yang semula membaca buku itu beranjak dari ranjang, menghampiri Sam.

"Kenapa berantakan sekali? Apa Lisa dan Bambam mengajarmu?"

Sam mengangguk, memberikan kotak bekal berisi nasi goreng itu pada Hera, lalu merebahkan diri di ranjang. Sesekali ia memijat otot bisepnya.

"Sudah lama aku tidak berolahraga, dan ini benar-benar membuat tubuhku sakit," rengek Sam.

"Aku tidak pernah melihat seorang Sam merengek. Walaupun begitu, terimakasih. Ini sangat enak."

Seolah remuk tubuhnya sirna seketika, saat Sam melihat senyum cerah Hera. Perempuan itu memakan dengan lahap nasi goreng itu.

Bukan hanya Hera, tapi bayi dalam kandungannya pun sama mandirinya dengan perempuan itu. Sam tak keberatan jika harus melakukan apapun untuk menuruti keinginan Hera dan bayinya. Sam selalu berandai, jika anak itu adalah keturunannya, dan Hera adalah istrinya, perempuan itu tak harus menanggung semua sakit selama ini.

Hari selanjutnya dihabiskan dengan Hera yang berjalan-jalan dan berakhir kelelahan. Perempuan itu beberapa kali mengeluh jika perutnya aneh.

"Itu wajar, kau baru pertama kali mengandung. Mungkin perasaan aneh itu datang karena Baby mulai tumbuh."

"Benar juga," gumam Hera sembari mengelus perutnya.

Dalam waktu satu minggu, Sam membawa Hera menuju apartemen nya. Pria itu memastikan Hera tetap aman, karena akhir-akhir ini perempuan itu semakin lemah, bahkan beberapa kali pingsan.

Jadwal pulang ditunda, karena sidang perceraian ditunda hingga beberapa bulan ke depan. Tentu semua itu karena rencana licik keluarga Abigail—Hera dan Sam tentu menyadarinya.

Hera sama sekali tak menyalahkan kandungannya, saat ia tak bisa menikmati waktu berlibur dan hanya menahan diri untuk setiap perjalanan kuliner bersama Lisa dan Bambam. Menyebalkan, tapi Hera juga sangat mensyukuri keberadaan bayi dalam rahimnya.

Tiga bulan terlalui, dengan Hera yang berada di apartemen Sam. Ia banyak belajar tentang bisnis dari pria itu, setelah melahirkan bayinya Hera berfikir untuk melanjutkan studi dan melanjutkan bisnis keluarganya.

"Huh?" Hera mengernyit, dilihatnya Lisa yang tengah berjongkok di depan pintu apartemen Sam sembari meletakan sebuah kotak hadiah. Ia yang baru sampai setelah berbelanja beberapa keperluan hanya menatap heran dari depan lift.

"Eh, Hera. Aku datang mencarimu, tapi kau tidak ada."

"Kenapa kau meletakan kado di depan apartemen Sam? Kau menyukai dia?"

Lisa menggeleng kasar. "Bukan. Itu hadiah untukmu, hari ini kan hari ulang tahunmu. Apa kau lupa?"

Manik mata Hera membulat, ia benar-benar lupa pada dirinya sendiri. Perempuan itu mengangguk, balas pelukan Lisa.

"Aku akan pergi dulu, Bambi pasti mengamuk karena aku meninggalkannya tanpa pamit."

"Baiklah. Terimakasih untuk kadonya."

Tak ada yang mencurigakan, dua kado di depan itu masing-masing dari Lisa dan Bambam. Dengan semangat Hera membawanya masuk dan membuka kotak itu di ruang tengah.

"Dari Lisa dan Bambam."

Hera membaca sebuah catatan kecil di sebuah dress putih dengan motif bunga dandelion mungil.

"Wah, ini sangat bagus. Aku akan memakainya besok."

Jemari meraih kotak kado yang tersisa, membuka dengan pelan. Jantung berpacu, Hera meriah sebuah nota yang tertempel pada sebuah pakaian bayi lucu dengan topi rajut biru muda.

"Dari Zeyn. Kau mungkin tidak akan menerima hadiah dariku, jadi aku memberikan hadiah untuk bayi kita. Bagaimanapun dia tetap keturunanku. Aku mencintaimu," air mata Hera mengalir begitu membaca pesan dalam catatan mungil itu. Tubuhnya sedikit bergetar, tak menyangka Zeyn akan mengingat hari itu.

Jemari Hera mengetik pesan menggunakan nomor yang pernah ia pakai untuk menyamar sebagai Angelia.

"Zeyn, ini hari lahirku. Kau tidak memberi hadiah untuk Angelia?"

The Loveliest RevengeWhere stories live. Discover now