24. Keinginan Bayi

114 6 0
                                    

"Ini bukan keinginanku!" kesal Hera. "Ini keinginan bayi ini."

"Aku paham Hera. Dulu saat hamil, Lisa juga sering moody," kata Bambam.

"Benar juga. Kau pasti merasa aneh, kan? Kesal, tapi juga merasa rindu. Itu semua perasaan bayimu, mungkin dia merindukan Zeyn."

Hera mengangguk, sesekali perempuan itu mengusap air mata yang mengalir di pipi. Sungguh, ia merasa benci pada Zeyn setiap kali mengingat berapa banyak dia terluka. Namun, mengapa rasa rindu seolah telah menggunung, meski belum lama mereka berpisah.

"Bisakah kalian menelepon Zeyn untukku? Jangan katakan jika aku berada bersama kalian. Aku hanya ingin mendengar suaranya," rengek Hera.

Lisa menoleh pada suaminya, lalu mengangguk. Tak tega, lihat Hera menangis sesenggukan.

Pasangan sejoli itu tak menyangka, dibalik cerita bahagia Zeyn, tersimpan hati yang terluka, jiwa yang saling berperang, tak bisa menerima satu sama lain.

"Tante jangan nangis, nanti cantiknya hilang," gumam Bambi.

Hera memaksakan sebuah senyum, lalu menatap bocah mungil itu. "Iya, sayang. Tante hanya sedikit sedih, tapi melihat Bambi tersenyum, Tante jadi tidak sedih lagi."

Dalam hati, Hera sangat berharap Zeyn akan menerima panggilan dari Lisa dan ia bisa mendengar suara datar nan dingin pria tanpa ekspresi itu.

"Panggilannya tersambuang, kamu yakin tidak mau bicara dengannya?" tanya Lisa.

Hera menggeleng, ia tak akan bisa menebak apa yang dikatakan Zeyn saat mendengar suaranya. lagipula, sudah menjadi tujuan untuk buat Zeyn tersiksa dengan rasa bersalah dan perasaan yang terlanjur jatuh untuk Angelia.

"Halo Zeyn, bagaimana harimu? Di sini sangat cerah," Lisa mulai berbicara pada telepon yang tersambung dengan Zeyn.

"Aku baik-baik saja. Apa Hera sudah bersama kalian? Apa kalian sudah melihatnya?"

Ada sebuah rasa lega dalam benak Hera. Akhirnya ia bisa mendengar suara Zeyn karena Lisa sengaja menyalakan speaker dalam volume wajar. Senang, tentu saja. Hera yakin rencananya berhasil, terbukti dari Zeyn yang menanyakan keberadaannya begitu Lisa menelepon.

"Zeyn, ayo bertemu. Aku dan Bambam akan mengunjungi kalian bulan depan, boleh, kan?"

Tentu saja Lisa tidak serius dalam ucapannya, perempuan itu bahkan melirik Hera sesekali, memastikan sahabat lamanya itu mengangguk, berikan izin untuk pertanyaannya.

"Tidak, aku sedang sibuk," jawab Zeyn dari seberang telepon.

"Oh, ayolah. Aku tau kau tidak terlalu sibuk bulan depan."

"Aku sedang tidak ingin bertemu seseorang."

"Jadi, kau sibuk atau tidak mau bertemu dengan seseorang? Tidak konsisten menunjukkan bahwa kau sedang berbohong."

"Aku sibuk dan tidak mau bertemu dengan siapapun, kecuali Hera," jawab Zeyn dengan suara datar, tanpa ekspresi.

Ada getaran dalam hati Hera. Ekspresi acuh itu, ia masih sangat mengingatnya, juga cara Zeyn bicara yang sekalipun tak pernah menatapnya. Bahkan hanya mendengar, Hera bisa membayangkan bagaimana raut dan cara pria itu berucap.

"Hera!"

Ketiga orang itu spontan menoleh, dengar suara pria yang membentak. Hyunjin berjalan dengan tatapan nyalang, menghampiri Hera yang kelabakan, menyuruh Lisa mengakhiri panggilan.

"Apa yang kau lakukan? Menelepon Zeyn? Kau bodoh!"

"Hei, kau siapa? Apa masalahmu?" tanya Bambam. Ia paling tak terima saat seseorang berlaku kasar pada perempuan.

"Kenapa kau melakukan semua ini, Hera? Kau bilang kau ingin pergi bersamaku untuk melupakannya? Lalu mengapa kau butuh menelepon dia?" tanya Sam dengan tatapan berapi-api.

Hera tak berani menjawab. Ia tau, telah menyalahi aturan. Sam minta, agar selama seminggu sebelum sidang perceraian, Hera agar lost contact dengan Zeyn. Sampai mereka benar-benar bercerai.

Bukan karena sekadar cemburu, Sam tau Zeyn dan keluarganya begitu licik, mereka tentu tak akan menyerah hanya karena Hera berhasil menghindar kali ini. Sam tak mau perempuan itu kembali diperdaya.

"Kau sendiri tau darimana jika Hera berada di sini?" Lisa bertanya dengan santai.

Sam gelagapan, menatap Hera yang memiringkan kepala, seolah begitu penasaran pada jawaban yang tertahan dalam mulutnya.

"Aku melacak ponsel Hera."

"Dasar posesif! Biarkan saja Hera bebas, dia baru saja lepas dari rasa sakitnya selama bersama Zeyn," kata Bambam.

"Kalian ini siapa? Sok tau sekali."

Hera bernajak, lalu memegang lembut pundak Sam sembari menggeleng pelan. "Mereka sahabatku Sam, aku tau kamu adalah orang yang ramah, termasuk pada mereka."

"Hera, jangan mau jika dia mendekatimu. Belum jadi kekasihmu pun dia sudah se-posesif itu, dia bisa jadi lebih buruk dari Zeyn," timpal Lisa.

"Kalian tidak tau apapun tentang kami!" geram Sam. "Lagipula aku melacak keberadaan Hera untuk melindungi dia, untuk tau di mana dia berada. Asal kalian tau, aku bisa mengorbankan apapun untuk Hera!"

"Dasar posesif!" kesal Lisa.

"Sudahlah, tolong jangan bertengkar lagi, aku pening," keluh Hera yang memegang kening. Ia tak bohong, memang perutnya semakin mual dan kepala terasa berat.

"Kalau begitu ayo pulang sekarang, sudahi dulu saja jalan-jalannya."

Memang, tak ada yang namanya liburan di saat hamil. Hari yang digadang-gadang akan menjadi indah, justru gagal karena keadaan mood yang tak menentu, juga stamina menurun.

Sam dengan lembut membantu Hera untuk memasuki mobilnya. Ia menatap perempuan itu dari kursi kemudi. "Maaf untuk yang tadi, tapi aku tidak suka saat kau menghubungi Zeyn secara diam-diam begitu."

"Aku mengerti Sam. Tapi kau tidak perlu melacak ponselku begini, aku jadi merasa merepotkanmu."

Sam menggeleng. "Tidak. Aku tidak merasa direpotkan. Tadi aku menelepon kamu berkali-kali, juga mengirim pesan, tapi kamu tidak membalas atau memberi tanda sedikitpun, jadi aku khawatir."

"Aku terlalu asik karena bertemu sahabat lama, sampai mengabaikan ponsel."

Keduanya berbincang-bincang sepanjang perjalan pulang. Ya, sedekat itulah mereka. Tak pernah ada rasa sepi, tiap kali Sam berkendara bersama Hera, seolah selalu ada saja topik yang bisa dibahas sosok manis itu.

Dalam beberapa menit, keduanya sampai di hotel. Sam menuntun Hera dengan lembut, begitu dekat dalam sentuhan. Beberapa orang di lobi mungkin mengira mereka adalah pasangan yang baru saja menikah dan tengah melakukan bulan madu.

"Sam." Hera mengehentikan langkah begitu Sam memasuki lift. Pria itu menekan tombol agar pintu tak jadi menutup, kembali menghampiri Hera yang masih berada di luar lift.

"Ada apa? Kenapa tidak masuk juga?"

"Aku lelah."

Sam tersenyum tipis, lalu menggendong Hera di depan dengan kedua tangan ala pengantin. Perempuan itu sedikit tersentak, kaget.

"Tetap pegangan."

Perempuan itu mengalungkan tangan di leher Sam, dibiarkannya wajah tertunduk pada dada bidang sahabatnya. Hera lelah, sungguh lelah dengan semua permasalahan yang harus dihadapi. Ia butuh seseorang untuk bersandar, seseorang yang mencintainya secara tulus—seperti Sam—tetapi mengapa Hera tak bisa jatuh cinta pada sosok dengan surai pirang itu.

"Jika kau menginginkan sesuatu, katakan padaku, Hera. Jangan sungkan, aku akan mendapatkannya untuk malaikat kecil dalam kandunganmu."

Hera mengangguk saat Sam membawanya masuk ke dalam kamar hotel mereka, lalu merebahkannya di atas ranjang.

"Sebenarnya aku menginginkan sesuatu," lirih Hera.

"Apa itu?"

"Nasi goreng buatan Lisa."

"Itu hanya nasi goreng biasa. Rasanya akan sama saja dengan nasi goreng yang dibeli di tempat lain," gerutu Sam yang masih kesal dengan pasangan Lisa dan Bambam.

"Tidak. Aku bisa merasakan perbedaan nasi goreng buatan Lisa, itu adalah nasi goreng paling istimewa. Jadi, jangan coba membohongiku Sam. Ayolah, kumohon. Perutku tidak akan bisa menerima makanan apapun kecuali nasi goreng buatan Lisa."

Sam berdecak kesal, tapi kemudian tetap pergi menuruti ucapan Hera. Masalahnya, bagaimana ia akan membujuk Lisa untuk membuatkan nasi goreng itu?

The Loveliest RevengeWhere stories live. Discover now