31. Datang Menemaniku

167 8 0
                                    


Bayi itu mulai tenang berada di gendongan, ia duduk di samping Hera. Menatap perempuan itu dengan lembut.

"Hera, ini anak kita. Namanya Xion, tapi aku tidak salahkan memanggilnya Bintang. Itu memiliki arti sayang sama." Zeyn terdiam sebentar, menatap si bocah yang mulai tertidur dalam gendongannya. "Hanya beberapa saat, beberapa menit sebelum aku hanya akan bisa menatap kalian."

Hari ini, kedua orang tua San telah resmi bercerai. Zeyn sangat terpukul saat Nyonya Stuart hanya memikirkan tentang harta, sementara Tuan Stuart ingin mempertahankan persahabatan yang telah hancur.

Pada akhirnya, Bukan keluarga Hera yang hancur, tetapi keluarganya sendiri. Zeyn melempar Boomerang yang menjadi kehancuran baginya.

"Zeyn! Kau keterlaluan!"

Zeyn tak menoleh meski jelas dengar bentakan dari Tuan Ma yang berjalan cepat menghampiri dirinya di samping Hera.

"Kau sudah berjanji untuk tidak membawanya," kata Nyonya Stuart. "Lalu mengapa kau merebutnya dari Sam dan Zeya?"

"Kenapa kalian lebih mempercayai orang asing ketimbang aku yang jelas ayah kandung anak ini?"

"Kau mencerminkan dirimu, Zeyn. Egois dan bodoh! Jika memang kau pantas untuk Hera dan bayi ini, buktikan!"

Kalimat yang dilontarkan Tuan Ma itu seolah menjadi tantangan baru bagi Zeyn, tetapi sesuai perjanjian, jika ia berani membawa bayi Xion, maka ia tak akan pernah berdekatan dengan Xion dan Hera lagi.

Setelah menyerahkan bayinya, Zeyn mengusap lembut wajah Hera. "Seperti janjiku, aku tidak akan mengganggu kehidupan kalian lagi. Aku juga tidak akan berusaha untuk mendapatkan Hera."

Tidak. Zeyn tidak menyerah, tetapi mengalah. Hera bisa memilih kebahagiaan dan memutuskan kemana akan melangkah. Saat perempuan itu terbangun, ia tak akan membebani dengan perasaannya.



****



Zeyn membangun perusahaannya dengan susah payah, memulai semua dari awal, dengan semua skandal yang pernah ia dapatkan. Meski coba membenci Hera untuk berbagai alasan, tetap Zeyn tak mampu. Hatinya menginginkan perempuan itu.

"Zeyn, ini foto Xion. Dia mulai belajar berjalan."

Zeyn tersenyum lega. Ia memang tak pernah datang lagi, juga lebih jarang mengunjungi Hera. Tentu tak mudah, Zeyn perlu membiasakan diri dengan kebiasaan baru. Namun, pria itu tak sepenuhnya lepas tangan.

Di hari ulang tahun Xion yang pertama kalinya, ia membelikan putranya sebuah sepatu mungil menggemaskan. Saat itu ukurannya sedikit besar, tetapi kali ini ia dalam foto bahwa sepatu itu sudah sangat pas di kakinya.

"Apa aku ayah yang baik?"

"Jelas tidak." Rose jujur. Namun, Zeyn juga sudah hafal betul sifat perempuan itu yang senang membuatnya kesal. "Bagaimana jika seseorang menceritakan masalalu kedua orang tuanya pada anak itu, mungkin dia akan membencimu."

"Benar. Kurasa sudah terlambat untuk aku berubah, untuk aku mendapat kesempatan."

"Jadi kau akan mengalah?" Rose bertanya memastikan, ia tau jiwa ambisius Zeyn takkan dengan mudah mengalah.

"Aku lebih suka menyebutnya berkorban. Ku biarkan Hera hidup dengan orang lain, dengan begitu dia akan bahagia."

Rose melihat jelas, perubahan pada Zeyn yang dulu dikenalnya sebagai pria bajingan yang juga egois. Ia datang untuk coba meluruskan sifat pria yang telah dianggapnya menjadi adik itu. Namun, Hera bisa melakukannya dengan sempurna, mengubah Zeyn seratus delapan puluh derajat.



****



Sam duduk di samping Hera dengan wajah masam. Ia menunggu dengan sabar, mendampingi Hera dengan menentang kehadiran Zeyn. Sungguh, Sam benci kehadiran pria yang hanya bisa menyakiti hati Hera itu. Lalu ini, Zeyn ingin meminta maaf dengan mudah?

"Hah? Hera." Spontan Sam memegang jemari Hera yang bergerak pelan. Genggaman lembut itu mengerat, ia berdebar kencang, tak sabar melihat perempuan itu membuka mata.

"Apa akhirnya kau akan bangun?" lirih Sam.

Sudah cukup lama perempuan itu terbaring di rumah sakit. Hatinya perih melihat Hera yang tak berdaya dengan wajah pucat tanpa ekspresi. Menakutkan. Sangat.

"Zeyn ... Zeyn."

Manik mata Sam membulat. Hatinya perih, dengar lirih suara Hera yang menyebut Zeyn. Lagi-lagi pria itu yang disebut daripada dirinya.

Hancur. Sam merasa dunianya runtuh seketika. Tak ada lagi harapan. Bahkan dalam tidurnya, Hera masih menyebut nama itu. Bahkan orang bodoh pun tau, hanya Zeyn yang menempati hati Hera—dulu, sekarang, dan selamanya.

Perlahan, Sam meraih ponselnya, menghubungi nomor Zeyn.

"Datang ke rumah sakit. Aku tidak perduli tentang apa kesibukanmu. Kurasa Hera akan segera bangun, dia baru saja menyebut namamu dua kali."

Menghela nafas panjang, Sam menatap dalam wajah Hera, lalu melangkah pergi dari ruangan. Mau bagaimanapun, mau berapa banyak pun yang ia korbankan, perempuan itu hanya akan memandangnya sebagai seorang sahabat. Dan, itu lebih baik daripada hubungan yang hancur.

"Astaga."

Sam spontan memegang dada, kaget. Di kursi ruang tunggu, duduk seorang perempuan dengan rambut pink yang terurai. Dress putihnya buat Sam salah paham dan sempat mengiranya sebagai hantu.

"Kau sedang apa di sini?" tanya Sam lagi.

"Nyonya Ma sedang berpergian bersama Xion, jadi mansion kosong. Aku merasa takut sendirian di rumah seluas itu, jadi aku pikir Sam mau menginap di sana."

Sam terkekeh. "Omong kosong macam apa itu? Barusan kau duduk di sini selama berjam-jam dan tidak merasa takut. Ini rumah sakit, jauh lebih luas dan menakutkan."

"Aku memang tidak takut, sebelum Sam mengatakan itu," kata perempuan pengasuh Xion itu.

"Aku juga tidak akan menginap di rumah mewah itu jika tidak ada Xion." Sam mengambil beberapa langkah meninggalkan Zeya, sebelum kembali berbalik, menatap perempuan yang masih duduk di tempat yang sama. "Tapi kamu bisa menginap di apartemen. Aku sedang butuh teman."



****



Zeyn meninggalkan pekerjaannya, untuk menemui Hera. Ia memiliki insting yang kuat bahwa Hera memang akan terbangun malam ini.

"Dia masih menyebut namamu. Dan, apakah ini artinya Sam yang menyerah?"

Pria itu tersenyum. "Aku tau, tak ada yang bisa menggantikanku dari hati Hera. Hanya aku satu-satunya laki-laki yang dia cintai. Aku tau itu."

"Jangan terlalu percaya diri, Zeyn. Bahkan sekarang pun kau telah di gantikan oleh laki-laki lain." Ucapan Hera terjeda. "Itu Xion."

Malam itu Zeyn bergegas ke rumah sakit, memastikan ia ada di sana saat Hera terbangun. Menit demi menit berlalu, Zeyn lelah dan kantuk mulai menghampirinya. Pria itu menunduk, tidur dengan membatalkan tangan dari samping ranjang Hera.

"Zeyn."

Zeyn terlelap dalam tidurnya. Namun, suara lembut itu jelas memasuki pendengarannya. Perlahan maniknya terbuka, menajamkan pendengaran yang terdengar seperti halusinasi.

"Zeyn, ini kamu."

Pria itu cepat beranjak saat merasakan sentuhan pada pucuk surainya. Malam itu, ketika hari berganti, Hera menyebut namanya kembali, dengan mata hitam dan senyum yang sangat ia rindukan. Spontan Zeyn memeluk perempuan itu, menghujani wajah tidurnya dengan kecupan sayang.

"Hera, aku sangat merindukanmu."

Tak terasa tetes air matanya terjatuh. Haru menyelimuti hati yang kembali menghangat, Zeyn tak kuasa untuk tidak memeluk Hera.

"Zeyn, tolong hentikan. Ini geli, dan rasanya sangat aneh."

Perlahan Zeyn menjauhkan tubuhnya yang hampir menindih Hera. Ia terkekeh, mengusap lembut pipi Hera.

"Rasanya, aku seperti tertidur sangat lama. Aku seperti sering mendengar suaramu, tapi kamu terasa sangat jauh. Jadi, aku sangat merindukanmu."

"Aku juga merindukanmu."

Zeyn terdiam sebentar. Ia senang Heranya kembali terbangun, senang melihat senyum di wajah tirus itu, tetapi tak akan senang karena sebentar lagi mereka hanya akan semakin jauh karena perjanjian Zeyn kepada keluarga Hera.

"Aku akan menelepon keluargamu, dan mengabarkan ini. Mereka akan senang. Sementara, jangan banyak bergerak sampai dokter piket datang memeriksa."

"Sebegitu khawatirnya kau padaku? Apa benar kau selalu datang dan menemaniku, atau aku hanya berimajinasi dalam tidurku Zeyn?"

The Loveliest RevengeHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin