12). Un pas en avant

11 7 0
                                    

Austin, Texas—Amerika Serikat

"Zura aku harus melakukan perjalanan bisnis ke inggris untuk beberapa minggu, jangan khawatir saat aku tidak mengangkat telfon mu.." Gastan menutup telepon nya saat ia sudah mengirimkan pesan suara untuk sang kekasih.

Helaan nafas terdengar begitu berat dari sela bibir Gastan.Berbohong, berbohong dan berbohong lagi. Ini akan menjadi kebiasaan baru Gastan mulai sekarang.

Gastan berdiri didepan jendela besar yang menjadi dinding ruangan kerjanya di perusahan, laki-laki itu sulit untuk memandang kota siang ini karena hujan turun sangat deras hingga air nya terus menghantam jendela itu.

"Gastan."

"Tidak bisakah kau mengetuk pintunya terlebih dahulu?"

"Aku minta maaf."

"Kenapa kau ingin menemui ku?" Gastan bertanya langsung.

"Ayo, batalkan pernikahan ini."

Gastan menoleh saat mendengar ucapan tak masuk akal itu "Setelah itu keluarga Ardelard akan menuntut keluarga Hilton? Membawa masalah ini ke publik, dan menyalahkan ku didepan semua orang karena tidak mau bertanggung jawab atas kehamilan mu?"

"Aku akan pergi dari Texas, dan menetap di Jerman. Aku akan membesarkan anakku sendiri disana."

Gastan menggeleng "Jangan gegabah, Berlin. Jangan membuat membuat masalah baru."

"Pernikahan ini tidak akan pernah ada artinya, karena kita memulai dengan keterpaksaan, Gastan. Kita berdua tidak akan bahagia menjalaninya."

"Aku, atau kau yang di paksa?" Balas Gastan dingin "Jangan bodoh, Berlin." Gastan melangkah menuju meja kerjanya. Mengambil selembar kertas yang terselip di antara tumpukan kertas kertas lainnya.

Terlihat jelas ada tanda tangan Gastan diatas kertas itu. Gastan membawanya menuju sang calon istri. Mendudukkan dirinya didepan Berlin seraya menaruh kertas itu dimeja rendah yang menjadi sekat antara mereka berdua.

"Bagaimana kalau.. begini saja." Gastan mengeluarkan pulpen dari saku jas nya, dan menaruhnya diatas kertas itu.

"Apa ini?" Berlin mulai curiga.

"Aku tidak ingin menghabiskan tenagaku untuk berpura-pura seumur hidupku, Berlin. Jadi, lebih baik tanda tangani itu, dan kita sepakat tentang pernikahannya." Berlin yang curiga langsung mengambil kertas itu dan membacanya.

"Kesepakatan Pernikahan?" Berlin menyipitkan matanya. Ia membaca empat pernyataan yang terketik jelas di lembaran itu. Setelah membaca semuanya, perempuan itu beralih menatap Gastan yang kini menampakkan smirik nya.

"Adil kan?" Ucap Gastan.

"Apa maksud pernyataan keempat?"

Gastan mengambil pulpen mahal miliknya yang tadi ia taruh diatas meja lalu menyodorkan itu pada, Berlin. Perempuan itu menatap tangan Gastan yang menggantung kearahnya untuk memberikan sebuah pulpen. Ia bernafas tenang, dan menerima pulpen itu.

"Kehamilan mu.. sudah dua belas minggu kan?" Berlin mengangguk mendengarnya. Gastan ikut mengangguk "Dua puluh empat minggu lagi anak itu lahir... Berlin, dan Zura juga menyelesaikan pendidikannya..." Gastan beranjak dari duduknya dan kembali berjalan kearah jendela yang semakin mengabur karena hujan semakin Deras mengguyur Texas.

"Aku sudah memikirkan semuanya. Setelah anak itu lahir. kita akan bercerai, jadi.. pada saat Zura kembali ke, Texas. Aku bisa langsung menikahi nya." Gastan menghela nafasnya berat "Jangan sampai dia tahu tentang pernikahan kita. Aku akan menemui Paman Samuel malam ini untuk menjelaskan semuanya, sebelum dia tahu dari berita-berita murahan yang kini mulai simpang siur mengarah pada kita."

Goddess College Where stories live. Discover now