19). Wedding day?

10 7 0
                                    

Austin, Texas—Amerika Serikat

Gastan menghela nafasnya berkali-kali. Tak bisa ia tepis jika rasa khawatir didalam hatinya sudah menguasai dirinya. Tidak ada kabar satupun dari Berlin sampai saat ini.

Gastan menarik dasinya. Berkali-kali dia mencoba menelfon Berlin tapi ponsel perempuan itu seperti sengaja tidak aktifkan. Gastan berjalan mondar-mandir diruang rias. Ini sudah pukul lima tiga puluh pagi. Beberapa jam lagi mereka akan menikah. Tapi sampai sekarang perempuan itu benar-benar belum menampakkan dirinya di gedung pernikahan. Padahal kedua belah keluarga sudah sepakat untuk bertemu pukul empat pagi, bersiap bersama sama. Lalu pergi ke gereja untuk melakukan pemberkatan pernikahan bersama, dan kembali lagi kesini untuk melanjutkan resepsi.

Ceklek

"Berlin."

"Bukan, Ini aku.."

Gastan menghela nafasnya saat ternyata bukan, Berlin yang datang. Melainkan, Rea. Eritrea Andorra, Pengiring pengantin Berlin nantinya.

"Dimana, Berlin?"

Rea mengernyitkan dahi dan menggeleng "Dia bilang padaku kalau sudah sampai disini,"

"Jesus.." Gastan mengusap wajahnya kasar.

"Ada apa, apa ada masalah?"

"Dia sama sekali tidak bisa ku hubungi.."

"Tapi paman Ardelard, sudah disini."

"Sama seperti, mu. Rea." Balas Gastan "Paman bilang, Berlin sudah lebih dulu berangkat kemari daripada mereka."

"Tapi dia baru saja mengirimkan ku, pesan, Gastan. Sekitar dua menit lalu saat aku memarkirkan mobil."

"DENGAN ADANYA DIA DIDALAM SANA, SUDAH MENJADI MASALAH UNTUK KITA! AYAH NYA JUGA TIDAK MENGINGINKAN DIA! BEGITU JUGA AKU! BIARKAN AKU MEMBUNUH NYA!"

Gastan memejamkan matanya saat ucapan Berlin kembali menghantui pikiran nya. Apakah perempuan itu benar-benar melarikan diri dari Texas dan mencari klinik aborsi untuk mengugurkan kandungannya? Yang benar saja, Gastan sudah menyakiti perasaannya sendiri untuk menyetujui pernikahan ini.

"Lalu apa kau sudah menemukan dimana, Ghandra?"

Rea tersenyum simpul "Dia di Barcelona.."

"Ck, pasti dia mengirimkan alamat palsu juga padamu." Kesal Gasatan. Kakak laki-laki nya itu memang tidak pernah bisa dewasa, mau menang sendiri dan selalu membuat masalah yang merepotkan orang lain.

'Ting'

Gastan menetralkan nafasnya. Laki-laki itu langsung melihat ke layar ponsel setelah sebuah detingan terdengar.

Berlin:
Maaf.

"M, maaf?" Gastan tidak dapat memproses kata maaf itu pikirannya mengabur dengan seketika, namun saat kalimat Berlin kemarin kembali terbesit, nafas Gastan memburu, jantungnya berdegup kencang.

"Ada apa, Gastan?"

Gastan tak bersuara. Laki-laki itu menarik tangan Rea untuk pegi dari sana. Keduanya langsung masuk kedalam Mobil Gastan. Mobil itu melaju membelah jalan yang tidak terlalu ramai lagi ini.

"AKH!" Gastan memukul stir mobil kuat.

"Gastan disini juga ada aku! Aku tidak ingin mati konyol bersamamu!" Pekik Rea, ia memegang sabuk pengamannya sekuat mungkin.

"Kita harus menemukan, Berlin. Sekarang, juga!"

"JIKA KAU TAK MEMIKIRKAN KESALAMATAN MU, SETIDAKNYA PIKIRKAN NYAWAKU! AAAAA!" Rea memekik histeris saat Gastan menyelip beberapa kendaraan besar yang menghalangi mobilnya "Dimana kita akan menemukan, Berlin jika seperti ini!"

Goddess College Where stories live. Discover now