Buah Tangan Tetangga - Gempa

1.5K 186 33
                                    

(Nama) baru pindahan. Ayahnya seorang kosulat kedutaan Indonesia di Malaysia, sedangkan ibunya menjabat sebagai sekertarisnya.

Karena isu panas mengenai pembangunan G-7, dan Pak Menlu Indonesia ingin chit chat soal pertandingan sepak bola dunia dengan pemerintah Malaysia, keluarga (Nama) menyebrangi pulau Jawa, dan menetap di Malaysia. Rencananya untuk sepuluh tahun ke depan.

(Nama) tinggal di rumah bercat putih. Lantainya berupa kayu dipernis. Mamanya sedang mengepel seluruh ruangan sambil menunggu alarm pemanggang mereka berbunyi, dan papanya pergi membereskan administrasi sekolah (Nama) di unit pendidikan terdekat dari rumah mereka.

Tadinya, ayah (Nama) ingin keluarga mereka tinggal di asrama pada lingkungan kedutaan saja, supaya (Nama) masih bisa main dengan anak-anak dari Indonesia lain disana. Namun, tidak ingin terlalu memanjakannya, ayah (Nama) membiarkan putri tunggalnya berdikari pada budaya sekitar tanpa diemong seperti bayi.

Kini, (Nama) tengah pushrank. Ia duduk di karpet beludru ruang tamu, menyender pada cabriole. Sambil menguyah kudapan basah yang dimasak ibunya, (Nama) memekik senang. Ia barusan winstreak.

Ibu (Nama) datang, membawa apple tart yang diatasnya berceceran madu dan kismis. Ibu (Nama) memang suka memasak, akibatnya (Nama) sering disuguhkan makanan manis-manis dan kekenyangan.

"Asik, tart," (Nama) mencomot kue yang telah diiris secara diagonal, memasukkannya ke mulut dengan sendok, merasakan lidahnya dipijat oleh rasa manis karamel dan asam dari apel setengah masak. Luar biasa. Enak.

(Nama) memakan hampir setengah bulatan kuenya, dan ibunya datang lagi. Kali ini dengan bingkisan.

"Nih, anterin ke tetangga ya. Sebagai buah tangan." Kata ibunya. (Nama) sadar, betul juga, kultur orang sini mirip seperti di Indonesia. Bertukar hadiah, apalagi konteksnya keluarganya ini tetangga baru. "Rumah disamping tuh. Yang pager item."

Oh ya. Soal rumah tetangga pager item. Tadi, sepanjang (Nama) bermain gim, rumah itu menghasilkan bising statis. Seperti ada suara pantat panci menubruk wajah seseorang, suara orang ketawa psikopat, bising ayam berkokok, sambaran gledek, dan suara-suara percakapan di pasar. Seperti sangat ramai.

(Nama) memandangi kotak berpita yang diberikan ibunya. Yah, segitu porsinya cukup banyak. Jadi, jikapun keluarga sana memiliki banyak anak, bakalan cukup.

(Nama) masih berpakaian kasual, ia mengenakan jaket trucker klasik, dan memeluk kotak bingkisannya seraya melengos itu keluar rumah. Dengan sandal jepitnya, ia menekan bel rumah tetangga.

Ting!

Cukup sekali, hingga si pemilik rumah—lelaki seumuran (Nama), keluar dari rumah dan mempersilahkan (Nama) masuk.

"Eh, tetangga baru di sebelah ya?" Tanyanya.

"Hehe, iya. Ini ada hadiah dari mama." (Nama) menyerahkan.

"Wah makasih banyak. Nama kamu siapa? Aku Gempa. Yuk masuk dulu." Tawarnya.

"Nama aku, (Nama). Aku disuruh langsung pulang. Maaf ya." (Nama) cengengesan. Dia nggak enak.

"Woy! Balikin telor gue!" Teriak seseorang dari dalam. Benda-benda di dalam pintu melayang indah. Diikuti cekikikan seorang anak berkacamata visor yang dikejar anak gila lain.

"Pot aku peeecaaaaah?!" Rengek suara lain.

Brak!! Sesuatu menggelinding dan jatuh dari tangga.

"Kebakaraan! Mana Ice, sini Iceee!" Teriakan nelangsa itu menjadi hal yang terakhir didengar karena Gempa menutup pintunya, tak ingin kekacauan di rumahnya semakin dilihat (Nama) dari pintu gerbang.

Boboiboy OneshootWhere stories live. Discover now