Guru Sejarah - Halilintar

1.8K 201 14
                                    

Brak!

Pintu kamar itu dibanting oleh (Nama). Kemudian ia menutup pintu, mengucinya dengan slot lalu bergegas pergi ke kasur pasien.

"Huwuwwwwww Mas Adada," (Nama) mengepakkan jari-jari di kedua tangannya, menyapa Halilintar yang memandangnya tak suka sambil berbaring. "Ciao. Apa cuma gueeee yang ngerasa kalo AC dimari dingin bet?!"

Mata Halilintar menyipit, meluncurkan tatapan menghujat sang istri.

Buat apa istrinya datang kemari? Halilintar tak perlu berprasangka macam-macam. Soalnya makhluk tipu muslihat itu mustahil memiliki sedikit pun kepedulian terhadapnya.

"Waduh waduh waduh." (Nama) menautkan tangan dibalik punggung, lalu berkeliling ke sepenjuru ruangan Halilintar, sepatu kets tiga ratus ribuannya menyentuh koper ratusan juta rupiah milik Halilintar di kolong kasur, lalu ia menyibak tirai, dan memain-mainkan pewangi ruangan yang menggantung di ventilasi. "Fasilitas ruangan VVIP bukan maen emang yakssss! Nggak kayak di ruang guru tempat kerja gue."

Halilintar tahu, istrinya itu seorang guru. Tapi ia bukan bekerja sekitaran sini. Istrinya dinas di SMA swasta jauh darisini, di kampung sana, sebagai guru sejarah yang digaji tak lebih dari anggaran kebutuhan hidupnya. Halilintar belum tau niat busuk apa yang membawa (Nama) kemari.

"Heh, lo kan orang kaya. Banyak ceweknya. Mana nih cewek cewek lo? Bokap lo juga kemane? Hahaha!" Tawa (Nama) terburai di udara. Dalam hati, Halilintar ingin sekali memplester mulut manusia satu itu.

(Nama) duduk di kursi, di tepi ranjang Halilintar. "Aduh kasian, nggak bisa ngomong ya. Ah lagian you ada-ada aja sih. You ngapain dah? You jadi kayak tokoh antagonis di sinetron azab gini?! Tiba-tiba kena stroke, terus ditinggalin sama orang-orang? Ck ck ck, tobat Mas Adada, tobat."

Jadi ini niat busuknya; mengejek Halilintar karena kini ia tidak lagi bisa melawan. Balas dendam.

Oh. Hubungan mereka pelik. Setahun lalu, Halilintar pergi ke kampungnya (Nama), ingin mensurvey tanah untuk dibangun pabrik dengan manajer mutu-nya. Iya, Halilintar turun tangan sendiri karena pada saat itu ia belum menjabat sebagai posisi formal apapun di pararel perusahaan bapaknya. Lalu Halilintar pergi menanya-nanyai warga dibantu Pak RT, mau menghimpun suara soal kesepakatan harga tanah gusuran. Tapi waktu itu Pak RT lagi sakit, dan manajernya sedang mengecek pengalaman kontraktor yang ketika itu juga sedang menggarap proyek jalan tol di desa. Jadinya, Halilintar sendirian keliling rumah warga, menjajakan tawarannya ke penduduk. Rumah terakhir itu rumahnya (Nama), Halilintar bertamu ke rumah (Nama) larut sekali karena rumahnya memang ada di ujung, jauh dari keramaian, dan letaknya ada dibawah ceruk bukit, aksesnya sulit sekali.

Niatnya mau membahas deal-dealan penjualan tanah (Nama) di pusat desa, dekat kantor kelurahan, Halilintar jadi kena masalah karena mendadak rumahnya (Nama) didatangi ibu-ibu pengajian dari pondok pesantren. Ibu-ibu itu salah paham, mengira kehadiran Halilintar malam-malam begini karena hendak berzina. Mereka jadi diarak warga, didesak dinikahkan detik itu juga.

Sejak itu jugalah Halilintar mengira (Nama) sebagai gadis kampung oportunis yang memanfaatkannya saja secara materiil. Halilintar telah lama meninggalkan (Nama) di desa itu tanpa klarifikasi apapun yang keluar dari mulutnya. Bahkan saat peresmian pabrik, Halilintar mengabaikan (Nama) saat sang dara meminta kejelasan atas hubungan mereka.

Halilintar cuek, ia masih marah. Ia merasa pernikahannya settingan orang di desa supaya cewek ini bisa menggaet suami kaya-raya.

Kini Halilintar memandangi istrinya, ia mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang, dengan woven belt dan rambut digulung asal-asalan. Senyumnya mengandung esensi kemenangan. Halilintar tidak bisa mendengarkan lebih banyak justifikasi dari mulut mercon orang ini.

Boboiboy OneshootWhere stories live. Discover now