Mamanya Glacier - Solar

1.6K 169 31
                                    

(Chapter ini sudah tersedia versi booknya)

(Nama) tidak galau, tidak sedih, tidak berkabung, tidak gelisah, tidak diselingkuhi, tidak dikhianati, dan tidak juga gegana—gelisah galau merana—karena faktor apapun. Tapi (Nama) tetap mendengarkan musik galau lewat airpods generasi ke tiganya. Playlist lagunya terdiri dari lagu patah hati, lagu putus cinta, lagu ditinggal kawin lagi, lagu pacarnya diambil orang, dan lagu-lagu menyedihkan lain. (Nama) menyukai lagu galau tidak dilatarbelakangi oleh apapun.

Ia telah dituduh mengalami putus cinta oleh Yaya; Yaya menscroll playlist lagu (Nama) pada aplikasi streaming musik di gawainya dan terkejut karena seratus persen musiknya bertema sedih-sedih. Tapi tidak, (Nama) mengelak. Hari-harinya terasa biasa saja. Kali ini pun begitu, ia berjalan pulang sambil menyumpal telinga dengan airpods, menyenandungkan lagu galaunya sambil menyakukan tangan di rok SMA.

Ada seorang atlet yang langganan juara karate di sekolah mereka, melintas secara tidak sopan di trotoar itu, menabrak (Nama) dari belakang.

Fang tampaknya sedang buru-buru, ia menoleh ke belakang sebentar dan berseru, "Maaf! (Nama), aku dipanggil abangku."

Setelah menyenggol bahu (Nama) dengan kasar, menjadikan salah satu airpod di telinga kanan (Nama) terlempar jatuh ke gang di sampingnya, Fang meminta maaf dan lanjut berlarian.

"Woy! Lain kali hati-hati!" (Nama) mengeraskan suaranya dengan memperalat kedua telapak tangannya sebagai bingkai di sekitar mulutnya, berharap teriakannya mampu ditangkap oleh Fang yang telah menjauh.

(Nama) mendengus tak senang, ia pergi berjalan ke gang sempit itu. Bau makanan basi menguar dari bak-bak sampah organik berisi plastik beraroma anyir dan busuk. (Nama) celingak-celinguk, mencari airpodnya di segala sisi.

Dan ketemulah airpod itu di dekat sepatu seseorang yang memunggunginya. Si lelaki berdiri mematung membelakangi (Nama), tatapannya tertegun pada kardus di ujung buntu gang gelap gulita ini sampai ia membeku selama lima menit disana.

(Nama) meraih airpodnya, kembali memasangnya di telinga.

Karena mendengar langkah kaki (Nama) dan suara kerincingan dari bandul gantungan kunci di ransel si perempuan, Solar berbalik.

Solar mengenali (Nama) sebagai bendahara kelasnya. Mereka itu sekelas, tapi beda pergaulan. (Nama) berteman sebatas di sirkelnya, Solar pun punya lingkup kehidupan sendiri; Solar sebetulnya tidak akrab dengan siapa-siapa di kelas, ia lebih sibuk mengayomi penggemarnya ketimbang membaur pada anak-anak kelas.

(Nama) pun tahu, ini Solar. Pemuda jenius yang cita-citanya ingin jadi ahli kimia, praktisi medis, atau segala jenis profesi ilmu farmasi. Solar itu pintar, ia senang membaca buku dan bersinar sekali pada mata pelajaran kimia. Tapi, sungguh, (Nama) dan Solar belumlah bicara selama nyaris tiga tahun mereka sekelas.

"Solar?" (Nama) menaikkan satu alisnya. (Nama) mengintip ke arah belakang Solar, ingin tahu daritadi Solar sedang memerhatikan apa.

Ada kardus bekas microwave di ujung gangnya, dan di dalamnya, tergeletaklah seonggok bayi yang diselimuti pakaian wol dari bulu biri-biri. Mata bayi itu perpaduan antara biru dan cokelat, ia mengerjap dan cemberut.

Sial, ini tanda-tanda bayi akan menangis.

"Hih!" (Nama) terlonjak kaget, ia termundur dan memeluk dirinya sendiri penuh kengerian.

Boboiboy OneshootWhere stories live. Discover now