Guling - Ice

1.8K 205 31
                                    

(Nama) berlari secepat yang ia bisa dari terminal bus ke pekarangan kampus. Para wartawan majalah mode, dan reporter televisi mengejarnya ke pagar depan kampus. Beruntung si satpam jaga cukup peka untuk membantu sang mahasiswi, bapak itu memblokade jalan masuk dengan menggembok regol utama.

"Kak (Nama)! Kami ingin tahu apa perasaanmu setelah shooting tabloid terkenal setelah debut." Satu orang reporter menyelipkan tangannya masuk lewat celah gerbang besi, menyodorkan mikrofon bertempelan logo acara berita entertainment.

"Kak (Nama), apa kamu benar-benar berpacaran dengan aktor film yang digosipkan itu?" Tanyanya lagi.

Blitz kamera menghujani (Nama) dari mana-mana. Seorang wartawan dari stasiun televisi lain ikut berkerumun, membawa DV Recorder dan reflektor.

"Makasih pak satpam." (Nama) membungkukkan badan, lalu berlari secara gila ke kelasnya.

Ia baru didebut dari agensi musik kecil. Audisinya tidak berat-berat amat karena tidak banyak kontestan yang ikut. Bermodalkan bakat menyanyi solo, (Nama) nekat mencoba. Karena ia butuh dana untuk kuliahnya sendiri, ia akan melakoni ketenaran ini dengan banyak-banyak elus dada.

(Nama) terpaksa ambil job modeling dan seni peran untuk uang saku tambahan. Aslinya, ia tidak disetting untuk menjadi selebriti serba sempurna. Ia terlahir sebagai manusia tak teratur yang petakilan, tak pandai jaga imej. Namun apa boleh buat, kuliahnya mesti belanjut.

Kembali lagi, laki-laki di gedung fakultasnya datang menggoda (Nama). Memuji kecantikannya, atau bertanya apa hari ini ia kosong, atau lebih parahnya lagi, tiba-tiba menyentuh (Nama). Salah satu geng hitz dari prodi tetangga mengikuti (Nama), coba-coba mendekat. (Nama) risi luar biasa, ia mempercepat langkahnya ke kelas.

(Nama) sengaja tiba lebih awal, agar ia bisa mengurung diri di kamar mandi sebelum dosen datang biar tidak diganggu siapa-siapa daripada datang tepat waktu disaat orang-orang sudah banyak yang sampai; itu namanya merepotkan. (Nama) takut dibombardir pertanyaan atau dipepet lelaki di kelasnya.

Tak ada siapapun di kelas kecuali laki-laki tukang tidur yang kini pun sedang tidur pulas di mejanya. Dari luar, (Nama) memandangnya lekat-lekat. Ia dan pria itu tidak memiliki riwayat percakapan apapun, padahal (Nama) sekelas dengannya di banyak mata kuliah.

Suara langkah sepatu menyentak (Nama). Salah satu fansnya dari prodi lain mengejar hingga (Nama) ada di lantai tiga gedung kuliah bersama?! (Nama) takut, (Nama) tidak punya opsi selain masuk ke kelas, dan duduk disamping Ice. Sok akrab. Meminta perlindungan.

"Ice." Panggil (Nama), menyikut Ice. Ice melek, bingung mengapa ia dibangunkan padahal belum ada dosen.

Ice lihat ada perempuan berbaju rajut warna pink duduk disebelahnya. Mata indah wanita itu memancarkan bahasa isyarat kode morse minta diselamatkan. Ice memandang ke sekeliling, lalu mengerti, ketika mata Ice bersitatap sejurus dengan mata lain milik fansnya (Nama).

"Pergi." Kata Ice, pada si penguntit. "Aku ingin berdua dengan wanitaku."

(Nama) melotot. Tukang tidur ini begitu bisa diandalkan. Buktinya, penguntit tadi berdecak kesal sambil menggerutu, lalu pergi ke arah ia datang.

"Makasih banyak banyak." Tangan (Nama) meraih lengan atas Ice.

"Ya." Kata Ice. Kembali tidur. Ice ini irit bicara, dan lucu orangnya. Ia tidak banyak bergaul, karena ia lebih memilih tidur daripada mengobrol dengan teman sejurusannya. Pipinyi berisi. Badannya cukup gemuk. Lucu. Seperti guling. Enak kalau dipeluk, pikir (Nama). Apalagi pria ini sering mengenakan jaket bertopi yang dipinggirnya dibordir bulu-bulu tebal. Seperti jaket musim dingin suku Eskimo. Entahlah, style itu semakin saja menjadikannya enak dipeluk. Pria ini bagaikan buntalan bulu pemalas.

Boboiboy OneshootWhere stories live. Discover now