Hotel Monocle - Solar

1.6K 150 34
                                    

Bosnya di reserse dan inspektorat setempat sepakat menghadiahi (Nama) tiket liburan ke Bali, Lombok, atau Malaysia. (Nama) memilih Malaysia.

Begini ceritanya, (Nama) kembali menelisik kasus coldfile tahun seribu sembilan ratusan dengan teknologi baru mereka—identifikasi DNA. Ditemukannya cairan tubuh berupa sperma di TKP, dan dengan strip tes hematrace dapat membuktikan adanya darah korban di pakaian terdakwa, menjadikan kasus yang lama ditutup karena ketiadaan bukti itu diusut lagi ke pengadilan. Itu kasus besar yang disoroti awak media; bagaimana tidak, kasus alot satu ini ditutup karena kurang bukti pada masanya, menyisakan ketidakadilan pada korban dan keluarganya. Dan kini, pada tahun modern ini, dibuka dan diselesaikan. (Nama) berjasa. Ia diberikan brevet kehormatan dan tiket liburan cuma-cuma.

"Kapan lagi, ye kan?" (Nama) senyum-senyum sendiri. Melepas penat akan kemacetan Ashta District 8, iklim penuh sesak Jakarta, dan laporan-laporan pencopetan di terminal MRT. Perkejaannya sungguh menyesakkan bila diingat-ingat.

Kini, matanya dimanjakan oleh ekosistem pohon palem yang sebagian pelepahnya sudah mengering, pepohonan keruing di pinggir bukit terjal, dan sungai yang bermuara dari laut lepas di sepanjang trek jalan kereta.

Mesin uap mengeluarkan jelaga dari cerobong asap, bunyi rolling noice dan gemeresak vibrasi bogie kereta melingkupi pendengaran (Nama) sebelum kereta itu megerem di stasiun pemberhentian terakhir; stasiun Pulau Rintis.

(Nama) menggeret kopernya ke peron melalui bancik portabel yang digelar pihak stasiun. Tidak ada banyak penumpang pada pemberhentian itu. Melalui brosur yang dibaca (Nama) sebagai arahannya menuju destinasi wisata—Pantai dan Waduk Pulau Rintis—rating akan desa ini memang tak berpamor tinggi.

Pulau Rintis nampak sepi pengunjung. Tapi, tidak apa-apa. (Nama) muak ada di tengah keramaian Mall, didesakki oleh hilir mudiknya para romushawan korporet, dan menyaksikan segudang kasus kriminal yang nenyertai wilayah metropolitan itu. Bahkan udara disini bisa dinikmati dengan cara yang berbeda; karena ada manis-manisnya. Nol persen polutan. (Nama) benar-benar bersyukur.

(Nama) mampir ke minimarket di peron utama, membeli air mineral botolan dan pergi ke kafe di samping kiri stasiun. Kafe itu bergaya industrial, lantainya dibuat dari keramik, di meja pada barnya ada mesin kopi aeropress dan tabung kaca berisi robusta, decaf, biji kopi arabika.

(Nama) memesan espresso dalam papercup dan rough puff yang aromanya mentega banget. Setelah memesan, (Nama) membawa nampannya ke tempat pada bagian outdoor kafe yang dilindungi kanopi bergaris-garis. Di salah satu mejanya, ada seorang wanita berjilbab merah muda, nampak sedang meminum mug coklat panasnya sambil mengoperasikan laptop.

"Permisi." (Nama) menyapa. "Maaf ganggu."

Yaya menengadah, lalu membalas senyum, "Iya? Kenapa, ya?"

"Boleh numpang tanya? Aku disini mau liburan dua sampai tiga hari ke kawasan pantai. Penginapan yang bagus, dimana ya?" Tanya (Nama).

"Eh? Penginapan? Ini bukan desa wisata. Oh. Aku ingat. Ada satu hotel di beberapa ratus meter dari pantai. Tapi ... sebentar. Kamu sendirian?" Tanya Yaya.

"Iya." (Nama) mengangguk.

"Silahkan duduk dulu. Sekalian kamu tanya-tanya. Namaku Yaya. Aku mahasiswa semester akhir disini." (Nama) memperkenalkan diri.

"Aku (Nama). Dari Indonesia. Turis." (Nama) duduk di sebrang Yaya, meletakkan pesanannya di meja. Yaya menutup laptopnya, terlihat lebih tertarik mengobrol.

"Wah. Jauh. Kukira kamu dari ibu kota." Yaya terperangah. "Oh ya. Soal hotel. Namanya Monocle. Tapi, hotel itu agak tua." Yaya menyilang tangan. Ia sering melewati hotel itu dulu, sewaktu SMP. Sudah lama sekali sejak terakhir kali Yaya berkunjung kesana.

Boboiboy OneshootWhere stories live. Discover now