Terpukau

182 27 3
                                    

"Ketika yang menyakitiku adalah keluarga. Lantas aku harus mencari penyembuhnya di mana?"

🥀
~
~
~

Ujian semester adalah hal yang paling menakutkan bagi Radeva Arnawama. Hidup dan matinya sangat bergantung pada hasil ujian semester yang akan diraihnya.

Jam sudah hampir menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Namun, Radeva belum juga menyudahi aksi belajarnya. Mati-matian ia memahami dua mata pelajaran yang sudah ditetapkan untuk ujian besok— bahasa indonesia dan matematika.

Deva seperti merasakan ada sesuatu yang sedang mengalir di bawah hidungnya. Deva sudah dapat menebak, pasti carian kental berwarna merah pekat dengan bau amis.

Tangan berkulit putih itu menyambar tisu yang ada di hadapannya. Benar saja, kini tisu yang digunakannya sudah berlumuran darah.

"Santai Deva, santai. Ini cuma mimisan, udah biasa juga kan." Deva mencoba menenangkan dirinya.

Tidak mau mengambil resiko yang dapat membuat tubuhnya semakin drop, Deva memutuskan untuk mengakhiri kegiatan belajar malamnya.

Deva merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Pikirannya mengawang-awang jauh entah kemana. Ada ketakutan tersendiri di dalam dirinya. Deva hanya ingin menjadi anak baik dan penurut, dia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah membesarkannya. Deva harus jadi anak pintar, Deva tidak boleh kalah dengan penyakitnya, Deva harus bisa membahagiakan kedua orang tuanya.

Tanpa tersadar matanya terpejam sempurna ditengah pikirannya yang sedang berkecamuk. Deva tertidur dengan harapan semoga hari esok akan lebih baik dari hari ini.

🥀🥀🥀

Sistem ujian SMA Tenggara menggunakan urutan nama sesuai abjad. Membuat Radeva, Kalingga dan Anna tidak dalam satu ruangan.

Kini ketiga pemuda itu sedang duduk di bangku taman depan kelas, menunggu waktu ujian yang sepuluh menit lagi akan berlangsung

"Aturan gue minta ayah ganti nama, jadi Kadeva atau Adeva aja," celetuk Deva asal-asalan.

Tangan Kalingga dengan ringan memukul pelan kepala Deva. "Bilang aja biar lo bisa nyontek sama salah satu dari kami," cibir Kalingga.

Deva tertawa kecil, tidak lupa mengangguk membenarkan ucapan Kalingga. "Benar. Kalingga pinter, deh. Jadi sayang," ucap Deva dengan nada manja yang dibuat-buat.

Ternyata ucapan Deva itu terdengar horor di telinga Anna dan Kalingga. Kedua pemuda yang duduk di kiri dan kanan Deva itu langsung memberikan tatapan tajam padanya.

"Bercanda..." Deva bergidik melihat raut wajah Kalingga dan Anna yang menyeramkan.

"Sumpah, Va! Gue pikir lo belok," tutur Anna. Gadis itu mengelus dadanya karena merasa lega. Masa saingannya untuk mendapat Deva itu Kalingga? Wah, Anna sama sekali tidak bisa membayangkannya.

"Lo kayak gak tahu Deva aja, Na. Anak itu kan agak gila," sahut Kalingga.

"Enak aja! Gue gak gila, ya!" Deva bersungut jengkel saat dikatain gila.

Waktu ujian di mulai, ditandai dengan suara bel sekolah yang menggema di seluruh penjuru SMA Tenggara. Anna, Kalingga dan Radeva berpisah menuju ruang ujiannya masing-masing.

Deva mengecek satu-persatu meja yang sesuai dengan nomor urutnya. Meja yang berada di dekat dinding, nomor dua dari depan.

Mata Deva berbinar melihat seseorang yang duduk tepat di belakangnya. Dia adalah Raka, adiknya.

Don't Give Up Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu