"Nggak ada yang perduli dengan air mata gue, rusaknya mental gue, kacaunya perasaan gue, yang mereka tau hanyalah letak kesalahan gue."
"Nggak semua! Gue perduli sama lo!"
"Gue banyak lukanya, Anna Chandara."
"Gue bantu obatin, Radeva Arnawama."
***...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Suara kicauan burung mulai terdengar, menyapa indra pendengaran seseorang yang masih tertidur di atas lantai gudang yang kotor penuhi debu.
Dia adalah Deva, anak sulung yang masih menjalankan hukuman dari sang ayah karena mendapatkan peringkat yang sangat buruk di mata ayahnya.
Deva mengerjapkan matanya guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Tangan yang penuh debu itu merogoh tas mencari keberadaan ponselnya. Bibir Deva melengkung ke atas saat melihat ponselnya yang masih bisa menyala karena belum kehabisan daya. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, tapi pintu gudang tidak kunjung dibuka oleh ayahnya.
Satu-satunya orang yang bisa membantu Deva adalah Kalingga. Bisa saja Deva meminta bantuan Bagas, tapi Deva tidak ingin membongkar tabiat buruk ayahnya yang suka menghukum tanpa belas kasih.
Deva mendial nomor Kalingga, panggilan langsung terhubung, Kalingga dengan cepat mengangkat telpon Deva.
"Kenapa?" tanya Kalingga dari seberang telpon tanpa basa-basi.
"Lo dimana, Ga?" Deva tidak langsung menjawab pertanyaan Kalingga, dia malah balik memberi pertanyaan.
"Di rumah, kenapa?" tanya Kalingga lagi.
"Gue boleh minta tolong, nggak?"
"Apa?"
"Gue dikurung sama ayah di gudang dari kemarin siang. Lo bisa ke sini, nggak? Tolongin gue," ucap Deva setengah memohon.
"Di rumah lo ada orang, nggak?" tanya Kalingga memastikan.
"Nggak ada. Kemarin gue dengar mereka mau liburan ke Ancol hari ini, jadi di rumah gak ada siapa-siapa. Paling cuma satpam doang, nanti bilang aja sama pak Harto kalau lo itu teman gue, pasti langsung dibolehin masuk. Nah, kalau udah masuk, lo langsung aja ke halaman belakang, karena gudang ada di halaman belakang," jelas Deva pada Kalingga melalui sambungan telpon yang masih terhubung.
"Oke," jawab Kalingga langsung paham.
Panggilan telepon terputus, Deva kembali memasukan ponselnya ke dalam tas, daya ponselnya hanya tinggal tersisa 3%, jadi tidak bisa dimainkan lagi.
Sambil menunggu kedatangan Kalingga, Deva mengelilingi gudang sempit tersebut guna menghalau rasa bosannya.
Tiba-tiba mata Deva menangkap sebuah album foto berwarna merah hati yang telah usang, sebagai besar sampul album tersebut suda tertutup oleh debu lumayan tebal.