002

361 42 1
                                    

Aku sampai di Rose Cafe, tetapi orang aneh tadi sudah tidak ada. Aku kalah cepat. Lyn bilang, jika orang itu langsung pergi saat tahu jika Deren memanggilku untuk segera ke kafe. Mungkin hal itu yang membuat orang aneh itu pergi.

Aku melihat banyak sekali pelanggan di sore ini. Meskipun seharian bekerja di kantor, tetapi hal yang paling membuat semangat adalah pergi ke kafe dan melihat banyak pelanggan. Melihat banyak sekali sumber penghidupanku dimana-mana. Eh?

Tetapi kenyamanan itu berubah saat aku mendengar suara seseorang yang datang sambil menggandeng pacarnya, ralat, suaminya. Aku memutar bola mata heran dengan kedatangan mereka. Padahal masa cuti yang kuberikan cukup lama untuk pasangan baru itu.

"Kenapa kau sudah pulang?" tanyaku menatap Ellie.

Orang itu adalah Ellie, bersama Theo yang sekarang resmi menjadi suaminya. Ellie meminta cuti waktu itu untuk bisa mengurus keperluan pernikahannya. Jadi entah kenapa dia kembali ke kafe setelah aku memberinya cuti panjang.

Ellie mengernyitkan dahi, "Pertanyaan apa itu? Seharusnya kau senang aku kembali!" ucapnya membuatku memutar bola mata.

"Tapi waktu cutimu masih panjang, kau bisa menikmati masa cuti bersama suamimu," ucapku melirik Theo yang sejak tadi kikuk berdiri di samping Ellie.

"Padahal aku sudah berekspetasi kau akan memberiku ucapan, selamat menempuh hidup baru," ucap Ellie.

Aku menggedikkan bahu, "Kau saja tidak mengundangku ke acara pernikahanmu," ledekku.

Ellie tertawa pelan, "Maafkan aku, Rain. Itu adalah pernikahan tanpa tersusun," ucap Ellie mengambil bangku kosong, "Bagaimana dengan pekerjaanmu di kantor, Rain?" lanjut Ellie.

Aku menatapnya aneh, "Masih sama membosankaan. Tunggu... kenapa kau hanya duduk disitu?" tanyaku.

"Huh? Aku harus bekerja? Bukankah aku masih dalam masa cuti?" tanya Ellie balik.

Lyn yang baru saja mengantarkan pesanan lewat di depan kami. Lalu anak itu tertawa kecil mendengar ucapan Ellie. Sepertinya Lyn tahu apa yang ada dipikiranku.

"Rain tidak akan membiarkanmu duduk diam saja, Ellie. Dia sudah memberimu cuti, tapi kau malah kembali ke kafe, jadi dugaanku adalah... bahwa waktu cutimu sudah selesai dimatanya," jelas Lyn, yang ternyata dia pintar menebak.

Ellie melotot, "Aku kesini untuk bertemu denganmu, bodoh! Bukan membatalkan waktu cutiku!" Ellie menarik kursinya semakin dekat dengan meja di depan kami, "Dengar, Theo bilang bahwa Julia sekarang bekerja di tempatnya bekerja. Apakah itu benar? Kenapa dengan tokonya? Apakah Julia sudah bangkrut?" tanya Ellie sambil berbisik.

Disaat kami sedang mengobrol, Theo memesankan kami minuman. Meskipun ini kafeku, tapi dia tetap mentraktir kami. Padahal mereka tidak perlu membayar. Khusus untuk orang dalam, tidak perlu membayar, kalau mengikuti trend anak muda zaman sekarang.

Fokusku kembali ke Ellie, "Benarkah? Julia bekerja disana? Dia menempati posisi apa?" tanyaku mulai penasaran.

"Kata Theo, Julia mendapat posisi sebagai sekertaris CEO di perusahaan besar itu," jawab Ellie.

Aku mengangguk, "Itu berarti dia benar-benar menjual tokonya, dan memilih bekerja di kantor," ucapku.

Ellie meminum kopi hangat yang dibawakan oleh Theo, "Iya kau benar, apa bagusnya bertahan di toko yang mau runtuh itu?"

Aku tertawa pelan, "Jika Julia mendengar ini, dia pasti akan memukulimu," ucapku.

"Sejujurnya aku merindukan anak itu..." Ellie menyeruput minumannya, "Kau sudah mendapat pesan dari Julia?" tanya Ellie.

HiraethWhere stories live. Discover now