012

130 10 0
                                    

Aku tidak menceritakan lebih panjang soal kehidupanku kepada Kenzie. Hanya sekedar ingin berbagi cerita kecil dalam hidupku. Agar dia tahu bahwa aku bukan wanita yang harus dia sukai. Aku punya banyak sekali keinginan dan aku kadang menuntut akan tujuan. Hal yang aku alami semasa hidup itulah yang membuat aku menjadi sosok yang sekarang ini. Tidak luput juga dengan pengalaman saat ini yang bisa memberikanku akses menuju masa depan yang lebih baik. Memang keluargaku sangatlah rumit. Tapi aku terlahir disana. Rumah asliku saat aku hadir di dunia. Bersama orang-orang yang membesarkanku dari kecil. Aku tidak bisa mengelak jika aku tetap menjadi bagian dari mereka.

Setelah bekerja seharian di kantor, aku memutuskan untuk menuju Rose Cafe. Sepertinya Ellie sudah mulai bekerja lagi disana. Saat itu dia sendiri yang memberitahukan padaku jika akan bekerja lagi, padahal masa cutinya belum habis. Tapi itulah Ellie, dia sudah seperti saudara perempuan bagiku. Meskipun Ellie sudah punya suami, tapi dia tetap setia kepada pekerjaannya di kafeku. Aku senang saat Ellie tidak memutuskan keluar dari pekerjaannya. Hanya dengan kebersamaan itu yang bisa membuat Ellie tetap bekerja di kafeku, yang isinya orang-orang dengan latar belakang berbeda.

"Rain! Kau harus melihat apa yang dilakukan Ellie!" ucap Lyn heboh saat aku sampai di kafe. Lyn menunjuk tangga yang menghubungkan ke ruangan atas. Aku mengerti. Aku langsung menuju ke ruangan kerjaku di lantai dua.

"Ellie! Apa yang kau lakukan?!" ucapku masuk ke dalam kantor pribadiku.

Sedangkan Ellie yang sedang menempel foto idola kesayangannya itu langsung nyengir lebar. Dia segera turun dari kursi kerjaku. Aku menatap kesal ke dinding ruangan. Disana terdapat banyak sekali foto idola yang aku tidak tahu apa namanya. Yang jelas itu idola yang sering Ellie tonton di ponselnya. Sambil tertawa sendiri seperti gadis remaja yang baru memasuki pubertas. Lalu aku melihat lampu yang kelap-kelip menghiasi dinding tersebut. Haduh, ini namanya menambah beban pikiran.

"Terlihat bagus bukan?" tanya Ellie menatap dinding yang sudah dia tempeli foto-foto idolanya. "Yang ini namanya Min--"

"Bersihkan ini semua, Ellie. Kau merusak tatanan ruang kerjaku." potongku sambil menatap sekitar yang sudah dipenuhi oleh foto-foto yang tidak aku kenali.

"Oh ayolah... ini menyenangkan, Ra! Kau bisa bekerja sambil menatap pria tampan ini!!" ucap Ellie lalu menunjuk sekelilingnya.

Aku menepuk jidatku. "Apa yang kau pikirkan saat membuat ini, heh?"

"Sebenarnya aku memikirkannya setelah kau meneleponku saat itu."

Mataku mememincing curiga. "Lebih tepatnya?"

Setelah diam sesaat, Ellie akhirnya menjawab. "Setelah kau bertengkar dengan Artha."

Butuh lima detik untuk memahami dan menyangkut pautkan hal itu dengan dekorasi di ruangan ini. Lalu aku tertawa geli. Darimana Ellie mendapat ide seperti ini. Tidak mungkin juga aku melakukan hal diluar batasku. Aku menggeleng pelan. Tidak mudah menebak jalan pikir Ellie yang sangat di luar batas kemampuan berpikirku.

"Kau memikirkan sampai sejauh itu?" tanyaku menatapnya sambil menahan tawa.

"Tentu saja! Aku peduli dengan hidupmu!"

Aku tersenyum tipis. "Saat itu aku hanya butuh tidur, Ellie. Bukan pikiran negatif yang kau pikirkan..."

"Bohong!" Ellie masih menatapku tidak percaya.

"Memangnya aku terlihat seperti orang yang sedang berbohong?" tanyaku sambil menatap matanya.

Ellie menggeleng. "Tidak..."

Aku mengangguk dan duduk di kursi. Aku memutar kursi itu. "Jadi sekarang bereskan semuanya." ucapku menatap tajam dinding putih yang sudah tertutup foto-foto idola Ellie.

"Tapi ruanganmu terlihat bagus dengan dekorasi ini..." ucapnya sambil bersedekap menatap ruanganku.

Aku mengela napas pelan. "Dekorasimu memang bagus, Ellie," ucapku yang membuatnya menyerigai tipis. "Tapi sama sekali bukan tipeku." lanjutku yang membuatnya mendesah kesal.

"Baiklah akan aku bereskan lagi seperti semula." ucapnya mulai membongkar foto-foto yang tadi ditempel di dinding. Aku menatap Ellie dengan serigai puas. Lalu tatapanku beralih ke meja kerjaku.

"Ellie apa yang kau lakukan pada foto ini?!" tanyaku kaget karena melihat bingkai foto yang sudah dilakban berwarna hitam. Aku mengambil foto itu dan menunjukkannya pada Ellie. Memprotes tindakannya melakban bingkai foto ini.

"Itu foto yang bisa memberikan pengaruh buruk untukmu!" ucapnya sibuk melepas tempelannya di dinding. "Bukankah kau juga tidak suka foto itu?" tanyanya.

Aku melepas lakban yang Ellie pasang di bingkai foto. Lalu melihat foto keluargaku dengan aku yang masih kecil. "Ini sumber kekuatanku, Ellie." ucapku menaruh kembali foto itu di meja.

Ellie menatapku sesaat. "Aku benar-benar tidak paham pola pikirmu."

"Aku juga tidak paham pola pikirmu." ucapku berjalan ke pintu keluar. "Bereskan semuanya, saat aku kembali semuanya harus sudah bersih." lanjutku yang langsung menutup pintu kerja.

Aku menuju ke bawah, dimana para pegawai kafeku sedang bekerja. Aku berniat membantu Lyn yang sedang kesulitan melayani pembeli. Kurasa Ryan sedang ada proyek kuliah lagi sama seperti beberapa bulan yang lalu. Aku mengambil apron di gantungan dekat dapur dan memakainya. Lalu mengikat rambutku menjadi satu kebelakang.

Saat Lyn lewat aku langsung berbicara. "Kau layani saja di kasir. Biar aku yang memberikan pesanan kepada pembeli." ucapku mengambil nampan di tangannya. Lyn segera mengangguk dan melayani pembeli di kasir. Mempunyai Ellie sebagai asisten juga tidak membantu pekerjaan Lyn sebenarnya. Ah, lupakan sejenak soal kerandoman Ellie itu. Sekarang waktunya melayani pembeli.

Setelah melihat nomor meja, aku segera menuju meja yang sudah ada seorang pria menunggu pesanannya. Aku melebarkan mata. Rav lagi-lagi datang ke kafeku. Entah sudah keberapa dia datang berkunjung. Hingg sampai saat ini juga aku tidak tahu bagaimana wajahnya dibalik masker hitam itu. Dia hanya memesan dan langsung pulang. Tidak berniat membuka masker sedikitpun di kafe ini maupun diluar kafe.

"Hai, Rav. Senang melihat anda di sini lagi. Sepertinya anda sudah menjadi pelanggan tetap ya?" aku mencoba berbasa-basi menyambut kehadirannya.

Rav menyipitkan mata tajamnya itu, sepertinya dia tengah tersenyum tapi tidak terlihat karena dia mengenakan masker. "Tentu saja." ucapnya singkat.

"Anda baru pulang?" tanyaku menatap kemeja hitam yang dikenakannya. Aku memberikan pesanan milik Rav yang langsung diterimanya.

Rav mengangguk. "Terima kasih untuk makanannya. Saya permisi..." ucapnya hendak bangkit dari duduknya.

Aku membulatkan mata. Tunggu sebentar, kenapa dia ingin segera pergi? Mungkin karena tidak ada Ryan yang biasa dia ajak bicara? Atau pertanyaanku sejak tadi membosankan? Aku juga ingin bertanya mengenai apartemennya yang terletak disebelahku.

"Umm... aku ingin bicara denganmu..." ucapku menatapnya gugup.

Rav menghentikan tindakannya yang hendak undur diri. Dia masih berdiri menatapku bingung. "Bicara dengan saya? Apakah ada masalah?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Hanya ingin membicarakan sesuatu dan tidak usah terlalu formal saat bicara denganku." ucapku.

"Tapi, saya merasa tidak enak berbicara non-formal dengan anda." ucapnya yang langsung aku beri pelototan tajam. Memang tidak baik memaksa pelanggan untuk tidak bersikap formal. Tapi ini konteks yang berbeda.

"Kalau dengan Ryan kau bisa melakukannya, kenapa denganku kau tidak bisa?" aku terdiam saat merasakan deja vu. Hm... aku merasa pernah mendengar perkataan ini sebelumnya. Tapi aku tidak ingat kapan.

Rav terdiam sesaat, hingga dia mengangguk singkat dan kembali duduk. "Baiklah aku akan menunggumu sampai kau selesai bekerja." ucapnya mulai menggunakan kata 'aku kamu' denganku.

"Eh tapi pekerjaanku masih lama." ucapku merasa tidak enak jika dia menungguku.

"Aku tidak keberatan menunggu."

HiraethWhere stories live. Discover now