010

172 17 2
                                    

Beberapa tahun yang lalu.

Aku menunggu Alaric yang sedang menuju perjalanan pulang dari acara peringatan anniversary grub musiknya. Tapi sejak tadi ponselnya tidak bisa dihubungi. Aku merasa cemas karena dia tidak juga membalas pesan yang aku kirimkan. Entah apa yang dia lakukan sampai tidak bisa mengabariku. Aku duduk di sofa sendirian sambil menatap ponsel di tanganku. Lalu aku meletakkan ponselku di meja, membiarkannya disana. Aku menyandarkan punggungku ke sofa, ingin istirahat sejenak sambil menunggu Alaric tiba.

Hubunganku dan Alaric sudah berjalan dua tahun, kami sering menghabiskan waktu di apartemennya setelah selesai bekerja. Kadang aku sering pulang terlambat ke rumah karena terlalu asik dengan Alaric. Ibu sampai marah melihatku pulang malam, lalu ditambah kemarahan oleh Artha. Untungnya saat itu ayahku sedang ada bisnis di luar kota, jadi aku aman dari ceramahnya. Mungkin jika ayahku tahu, dia tidak akan membiarkanku main di apartemen pacarku lagi.

Bahkan sampai sekarang aku belum memberitahu mereka seperti apa pacarku itu yang bisa membuatku gila setengah mati. Ibu pernah menginterogasiku apakah hubunganku dan Aricdia hanya mengenal Alaric namanya saja karena aku tidak ingin terlalu membuka hubungan kami kepada keluargaku. Alasannya cukup ringan, karena aku belum siap memperkenalkan Alaric pada keluargaku. Sedangkan Alaric sudah memperkenalkanku kepada ayahnya yang sekarang menjadi bosku di kantor. Alaric belum pernah memberitahuku tentang ibunya. Hingga saat ini. Saat aku menanyakan padanya, dia terus saja mengalihkan topik pembicaraan ke arah lain.

Kadang aku lelah dengan hubungan kami, Alaric sering pergi tanpa memberitahuku. Aku bukan bermaksud posesif padanya, tapi saat dia pergi, dia tidak membalas pesan atau teleponku. Aku merasa jika aku khawatir sendirian dan dia menikmati hiburan di luar sana tanpaku. Pernah suatu waktu, aku marah padanya karena tidak menghubungiku selama dua hari, ternyata ponselnya rusak saat melakukan pertunjukan musiknya di sebuah kota dengan banyak fansnya diluar sana. Aku tahu, kadang terlalu berlebihan mengharapkan Alaric selalu mengabariku. Tapi aku ingin hubungan ini berjalan secara normal, kami saling berkomunikasi memberitahu kabar satu sama lain.

Bahkan aku sendiri yang meminta ayahnya untuk menyetujui Alaric menjadi seorang pianis karena kemampuannya dalam bidang musik bukannya bisnis. Alaric juga bisa berbisnis, tapi dia tidak terlalu menyukainya. Dia lebih suka terbang kesana kemari bertemu ribuan fansnya itu. Kadang aku merasa jika aku yang berjuang sendirian di hubungan ini. Suatu hubungan dibutuhkan pondasi dari berbagai sisi. Namun jika satu sisinya rusak, apakah hubungan itu tetap akan bisa bertahan?

Saat aku hendak memejamkan mata, suara bel apartemen berbunyi. Aku bangkit dari sofa menuju pintu, hendak membukanya. Awalnya aku pikir itu Alaric, tapi aku salah besar. Ternyata yang berdiri di depanku ini adalah kakakku sendiri, Artha. Dia menatapku tajam, seolah aku baru saja melakukan kesalahan besar. Aku menatapnya dalam diam, menunggu apa yang ingin dia katakan.

"Pulang sekarang!" ucapnya menarik lenganku.

Aku melotot melepaskan tangannya. "Apa-apaan kau?!"

Artha menghembuskan napas perlahan. Dia mencoba menurunkan kadar emosinya. "Kau melakukan kesalahan besar."

"Maksudmu?" tanyaku bingung pada ucapan kakakku sendiri.

"Dia telah membohongimu!" ucapnya kesal.

Dia? Maksudnya Alaric?

Aku menatapnya masih bingung dengan ucapannya. "Aku tidak mengerti apa maksudmu. Kenapa dengan Aric?"

Artha menarikku masuk ke dalam apartemen Alaric. Dia tidak kami membuat keributan di luar. "Dengar, setelah aku memberitahumu hal ini, kau harus menjauhinya..." ucapnya yang di dalamnya berisi ancaman.

HiraethWhere stories live. Discover now