013

134 14 1
                                    

Aku tidak tahu berapa lama Rav menungguku selesai bekerja. Dia masih berada di meja sambil memainkan ponselnya. Bahkan makanannya belum dimakan sama sekali. Padahal dia sudah menungguku cukup lama. Aku merasa bersalah membiarkannya menunggu. Semakin malam, pelanggan semakin membeludak. Aku salah mengira. Seolah dunia tidak berpihak padaku untuk berbicara dengan Rav. Maka dari itu aku putuskan untuk kerja cepat dan melimpahkan sebagian pekerjaanku pada Ellie. Alasannya karena kesalahannya tadi di ruang kerjaku. Padahal karena aku ingin berbicara dengan Rav, dan tidak enak membuatnya menunggu begitu lama.

"Kerjakan tugasmu dengan benar, Ellie. Aku tidak ingin kau membuat kesalahan lagi," ucapku melepas apron yang melilit tubuhku. Aku segera berkemas hendak meninggalkan kafe dan tentunya Ellie memandangiku curiga.

"Kau mau kemana, Ra?" tanya Ellie masih menatapku curiga.

"Ada urusan penting," aku mengambil tasku dan segera menghampiri Rav yang duduk sendirian.

Saat aku meninggalkannya, aku mendengar Lyn berbisik kepada Ellie. "Rain punya gebetan baru..." sekilas aku melihat Ellie melebarkan matanya. Bahkan aku tidak sempat mengurus mereka berdua karena pikiranku sudah dipenuhi oleh Rav. Mereka aman kali ini membicarakan bos dibelakang. Awas saja jika aku mendengar mereka bergosip di belakangku lagi. Aku bisa membuat mereka tidak bisa berkutik lagi.

Setelah itu aku keluar dari kafe bersama dengan Rav. Kami berjalan menjauh dari keramaian kafe di malam hari. Aku memakai mantelku, cuaca semakin dingin. Kurasa kami berjalan tanpa arah. Aku hanya ingin bicara berdua dengannya. Tapi Rav tidak kunjung membuka topik pembicaraan. Seolah menungguku mengatakan sesuatu terlebih dulu. Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam mantel, mencari kehangatan.

"Mau makan sup hangat dulu?" tanya Rav.

Aku terkejut dengan tawarannya. "Eh?"

Dia melihatku sekilas lalu matanya menyipit. "Kau kedinginan," ucapnya.

"T-tidak..." sanggahku cepat.

"Kita makan sup dulu." ucapnya menarikku ke sebuah restoran yang terkenal.

Aku mengikutinya ke restoran mahal itu. Meskipun mahal, tapi makanan yang ditawarkan cukup menarik. Bahkan sup di restoran ini cukup dikenal orang-orang berada. Sepertinya aku salah berada di tempat ini. Ini restoran kelas atas! Siapapun akan putar balik untuk membeli makanan di tempat lain dengan harga yang lebih terjangkau. Tapi dengan santainya Rav menarikku ke dalam restoran dan mengajakku duduk di dekat jendela dengan pemandangan malam yang indah.

Dia menyebutkan pesanannya dan menunggu pesanannya dibuat. Sedangkan aku menatap keluar jendela yang memberikan pemandangan malam menakjubkan. Tidak salah jika Rav mengajakku ke restoran ini. Tapi salah juga mengajak wanita sepertiku makan disini. Bagaimana cara mengatakan padanya bahwa aku merasa tidak enak padanya karena mengajakku ke restoran mahal ini. Bahkan saat aku melihat daftar harga menu yang ada di buku bisa untuk membeli makanan kucingku selama tiga atau empat bulanan. Sampai disini aku merasa curiga dengan Rav, jika dia pernah kesini kenapa memilih kafe minimalisku? Padahal menu di kafeku tidak semenarik restoran mewah ini. Dapat aku simpulkan satu hal, ternyata Rav itu kaya. Buktinya dia santai saat memasuki restoran ini dan tidak peduli saat memesan sup di buku menu. Seolah dia adalah pemilik restoran ini karena gayanya yang menjanjikan itu.

Seorang pelayan datang sambil membawakan sup hangat dengan asap yang mengepul itu. Tapi hanya membawakan satu sup hangat. Aku menatap Rav meminta kejelasan. Pelayan itu menghidangkan sup di depanku dan segera undur diri. Rav menatapku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan di balik masker hitam yang menutup wajahnya itu. Sampai sekarang wajah Rav masih misterius sekali.

"Apa yang kau tunggu? Silahkan dimakan, aku tahu kau lapar," ucapnya menatapku yang masih duduk terdiam.

"Kenapa kau tidak memesan juga? Kenapa hanya untukku saja?" tanyaku menatapnya meminta jawaban sejelas mungkin. Tidak sopan makan sendirian, sedangkan yang memesan makanan tidak makan apapun.

"Aku tidak suka sup." jawabnya yang membuatku tersedak salivaku sendiri.

"Lantas kenapa kau membawaku ke restoran ini? Ini... mahal," ucapku berbisik pelan padanya.

Dia tertawa pelan. "Aku hanya berterima kasih atas kebaikanmu," jawabnya yang membuatku mengernyitkan dahi semakin bingung.

"Memangnya aku melakukan apa?"

Dia menatap bungkus souffle pancake yang dibelinya di kafeku tadi. "Kau menambahkan satu pancake ke dalam pesananku bukan? Aku hanya membeli tiga seperti hari-hari biasanya. Tapi hari ini kau memberikan bonus satu pancake. Jadi aku membalas kebaikanmu kali ini," jelasnya kepadaku.

Jadi aku ketahuan? Memang aneh jika menambahkan satu lagi yang awalnya hanya memesan tiga. Tapi itu hanya bonus karena dia sering datang ke kafeku. "Oh... itu bonus tambahan dari kafeku untuk pelanggan yang sering datang ke kafe," ucapku. Faktanya kami tidak memberikan itu kepada pelanggan secara cuma-cuma.

"Hmm... apapun alasannya aku tetap berterima kasih," ucapnya.

"Aku tidak beralasan! Itu memang ketetapan kafe milikku!" ucapku dengan wajah yang terasa panas. Aku harap telingaku tidak ikut memerah. Aku sudah berbohong berapa kali untuk menyembunyikan rasa gengsiku ini.

"Baiklah aku percaya padamu nona Raina..." ucapnya menatapku. Aku tidak percaya dia mengatakan itu. "Makanlah, kau belum makan sejak di kafe tadi..." ucapnya menungguku menyendokkan sup kedalam mulut.

Aku mengangguk. "Terima kasih, tapi aku tetap berhutang padamu." ucapku menyendokkan kuah sup yang masih panas itu. AKu meniupnya beberapa kali dan sekiranya sudah tidak terlalu panas aku langsung memasukkan ke dalam mulutku.

Rasanya enak, sesuai dugaanku. Ah, kapan Deren bisa membuat sup seenak ini? Jika dia bisa membuat menu sup baru, aku akan menaikkan gajinya, sungguh. Tetapi dia juga harus memasakkanku sup ini juga.

Aku segera menghabiskan sup ini dalam diam. Sedangkan Rav hanya memainkan ponselnya, menungguku selesai makan. Setelah beberapa saat menghabiskan sup itu hingga sekarang perutku kenyang, aku melihat Rav menatapku dalam diam. Seolah dia hendak menilaiku sesuatu.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Rav menaruh ponselnya di saku.

Aku berdehem pelan, tidak tahu harus menanyakan yang mana terlebih dulu. Tapi aku segera ingat tujuan awalku mengajaknya berbicara empat mata seperti ini. "Kau sedang dalam misi untuk menguntitku ya? Sampai kau pindah di sebelah apartemenku?" tanyaku langsung ke intinya.

Rav terdiam sesaat, lalu dia tertawa pelan. Aku menaikkan alisku, bingung dengan reaksi yang dia keluarkan saat ini. Seolah kata-kataku tadi hanyalah lelucon sesaat. Aku memandangnya dalam diam, menunggu jawaban darinya.

"Kau salah, aku tidak pernah menguntit siapapun," jawabnya jelas.

Aku masih menatapnya tidak percaya. "Lalu kenapa saat itu kau berada di samping apartemenku?" cecarku padanya.

"Aku mengunjungi adikku,"

Aku membulatkan mata terkejut. "Adikmu? Di samping apartemenku?"

Rav mengangguk singkat. "Ya, adikku Orion. Rion."



HiraethWhere stories live. Discover now