009

178 20 2
                                    

Keesokan paginya aku pergi bekerja, meskipun disetiap sela waktu kegiatan di kantor aku masih sempat-sempatnya memikirkan kenapa pria bernama Rav itu bisa tinggal di sebelah apartemenku. Setelah aku selidiki dengan menggoda sedikit pemilik apartemen itu, usut punya usut ternyata tetanggaku sebelumnya memutuskan untuk pindah dari sebelah apartemenku. Jadi Rav, kata ibu pemilik apartemen, sengaja membelinya dengan harga mahal dan terjadilah kongsi bisnis membeli apartemen itu.

Setelah aku pikir seharian ini sambil menghadap laptopku, ternyata tidak ada gunanya juga memikirkan Rav. Apalagi membahas teori antar otak manusia itu yang sungguh membuatku pusing. Bahkan sampai saat ini aku tidak tahu seperti apa wajah seorang Rav itu. Aku seperti pernah mengenalnya di satu tempat, tapi karena aku memang pelupa, alhasil aku tidak bisa mengingat apapun tentang dirinya.

Aku mengerjakan beberapa laporan di kantor, menunggu kemajuan bisnis dari investor. Setidaknya aku saat ini aman dari gangguan Kenzie di kantor. Dia di tugaskan menemui ceo perusahaan yang bekerja sama dengan kami. Mungkin sekarang dia sedang membahas produk baru yang akan kami keluarkan seperti pembahasan saat meeting. Tn Thomas juga tidak masalah jika kami mengembangkan produk baru, asalkan kami punya himpunan dana dari para investor. Itu tidak menjadi masalah besar, karena kerja sama kami di kantor sudah terjalin cukup lama, aku yakin bisa mengatasinya.

Aku mengambil gelas tehku, ternyata sudah kosong. Aku bangkit dari kursi kerjaku, membiarkan dokumen berserakan di meja. Aku berniat mengambil teh lagi di dapur kantor. Sepertinya banyak yang masih bekerja karena hanya aku sendirian di dapur. Aku segera mengambil bubuk teh dan menuangkannya ke gelas, memberinya air hagat dari dispenser. Lalu aku mengambil sendok dan mengaduk teh agar larut. Harumnya teh ini membuatku ingin segera menghabiskannya lagi. Pantas saja teh yang aku minum cepat habis. Tidak ada yang bisa menandingi teh kantor.

Aku berniat membawa teh itu ke meja kerjaku. Namun saat aku berbalik sambil membawa teh itu ditanganku, aku dikejutkan dengan keberadaan Alaric. Untungnya tehku tidak tumpah mengenai bajunya. Kalau sampai itu terjadi, aku akan gengsi membersihkan pakaiannya yang kotor. Aku menghalangi teh ku dengan tangan kiriku yang bebas. Tatapanku beralih ke arahnya, melihat apalagi lagi yang dia inginkan dariku.

"Kau masih belum menemui ibumu?" tanya Alaric dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya.

"Aric, berhentilah memaksaku. Aku harap kau tidak ikut campur terlalu jauh," ucapku hendak melewatinya, tapi dia lebih dulu memegang lenganku cukup kencang. Bahkan tehku hampir terguncang, awas saja kalau dia sampai menumpahkan teh buatanku.

"Berhenti ikut campur katamu?" tanya Alaric dengan intonasi yang dingin.

Alaric memojokkanku ke dinding, matanya memandangku tajam. Seolah perkataanku tadi tidak seharusnya aku katakan padanya. Dia memang gampang sekali tersinggung. Aku masih memegang teh di tanganku dengan gemetar. Takut kalau teh ini tumpah mengenai bajunya.

"Bisakah kau mendengarkanku sekali saja?" tanya Alaric masih menatapku tajam.

Aku menggelengkan kepalaku, menolak mendengarkan dia. Enak saja, dikira aku mudah diperintah sesuka hati. Padahal hubungan kami sudah berakhir beberapa tahun yang lalu. Sudah jauh tertinggal di belakang. Tapi dia masih suka mengaturku, dan menggangguku dimanapun aku berada. "Tidak untuk kali ini Aric," ucapku balas menatapnya.

Alaric menunduk sesaat, dan akhirnya dia melepaskanku dari kungkungannya. Aku segera memberi jarak di antara  kami, tidak ingin Alaric memaksaku lebih jauh. Tapi aku tetap disana menunggu sesuatu yang ingin dia katakan. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu sejak tadi, tapi mengolah kosa kata tidak mudah. Apalagi yang dia hadapi saat ini adalah aku. Orang yang tidak peduli dengan apapun, termasuk dirinya sendiri.

"Apa yang membuatmu membenciku, Ra?" tanya Alaric terdengar frustasi dengan sikapku selama ini padanya.

Aku meletakkan teh di meja. Aku merasa bahwa Alaric ingin menyelesaikan semuanya disini. Baiklah jika itu maunya, aku akan melakukannya. "Aku tidak pernah membencimu, hanya takdir yang tidak berpihak pada kita," ucapku.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang