007

177 18 2
                                    

Sejak saat itu, si pria yang mengenakan masker sering berkunjung ke kafeku. Dia datang setiap hari rabu dan sabtu. Saat hari rabu dia menggunakan kemeja hitam, seperti baru pulang dari kampus. Dia membawa sebuah laptop yang kurasa untuk keperluan tugas kuliahnya mungkin, atau dia sudah bekerja. Aku sering melihatnya mengobrol santai dengan Ryan setelah pesanannya diterima.Ryan memang pegawai yang introvert, tapi jika sudah bertemu orang yang sefrekuensi dengannya, dia bisa berubah menjadi ekstrovert. Aneh memang, tapi sejak mengenal Ryan beberapa tahun ini membuatku paham bahwa dia memang sesederhana itu.

Hari sabtu pria itu datang mengenakan kaus hitam dipadukan dengan jaket berwarna hitam. Bahkan aku sempat menduga, dia adalah maniak warna hitam. Lalu semenjak itu aku sering melihat kegiatannya mengorbol dengan Ryan. Entah apa yang mereka bicarakan, seolah pembicaraan mereka seperti pembicaraan anak tongkrongan pada umumnya. Sedangkan Lyn sejak tadi melihatku menatap mereka tidak berkedip. Aku menonyor wajahnya, anak yang tidak tahu situasi sekali.

"Mereka sebenarnya membicarakan apa sampai nona bos melihatnya seperti ini?" tanya Lyn tersenyum geli.

"Kembali bekerja!" ucapku padanya. Lyn segera kembali ke dapur membantu Deren menyiapkan pesanan.

Aku mendengar derit pintu kafe terbuka. Lalu aku menyipkan diri menyambut pelanggan baru. Membenarkan poniku yang berantakan dan merapikan bajuku yang tidak karuan. Tetapi saat aku melihatnya, senyumku memudar, berganti dengan senyuman sinis dan sengit.

Orang di depanku sekarang ini adalah orang yang tidak ingin aku lihat wajahnya. Bahkan jika alam menghendaki, aku menginginkannya dipendam dalam tanah dan tidak kembali. Meskipun dia tidak melakukan sesuatu yang menurutku mengancam, tapi setelah ini pasti dia akan mengancamku dengan muka dingin khas nya itu.

"Kau tidak peduli pada ibumu?! Dia sakit parah!" ucapnya tanpa basa-basi yang mulai mendapatkan tatapan aneh dari pelanggan kafeku. Aku menghembuskan napas, selalu saja seperti ini saat kami bertemu.

"Kak, aku sudah bilang berapa kali jika aku tidak mau menemuinya," ucapku mencoba mengatur emosiku. Aku tidak boleh marah-marah disini. Banyak pasang mata yang melihat kami. "Kau benar-benar tidak mengerti perasaanku. Aku pikir kau kakak yang bisa aku percayai selama ini, tapi ternyata aku salah," aku tersenyum getir.

Aku merasakan jika orang-orang disekeliling kami mulai berbisik-bisik. Ini hal yang tidak aku inginkan saat Artha tiba-tiba saja datang ke kafe. Dia bisa mengacaukan kafeku hanya dengan keributan yang kami lakukan. Padahal kami adalah kakak beradik, tapi kami tidak pernah akur sejak ibu sakit.

"Sejak awal aku juga tidak peduli denganmu, kau terlalu egois untuk menjadi adikku!" ucap Artha yang membuat Lyn memekik tertahan. Padahal dia tidak perlu takut seperti itu.

"Aku juga tidak berharap kau menjadi kakakku, Artha..." ucapku. 

Lalu seorang wanita seumuran denganku masuk ke dalam kafe. Matanya langsung tertuju ke arahku dan Artha yang sedang mengamuk. Rambut wanita itu seperti model yang baru pulang dari salon, wangi tubuhnya langsung masuk ke indra penciumanku saat dia mendekat. Bulu matanya yang lentik itu dapat membius siapa saja yang sedang bicara dengannya. Dia berdiri di samping Artha, menatap kami bergantian.

"Rain, jika kau tidak ingin kakakmu membuat keributan disini, lebih baik kau-" ucapannya langsung aku potong.

"Kau tidak usah ikut campur, ini masalah kami," ucapku menatap Serena tajam. Aku menatap pengunjung kafe yang mengantri di belakang mereka berdua. "Lebih baik kalian pergi jika hanya menganggu saja, aku tidak butuh lalat penganggu di kafeku," ucapku mencoba mengusir mereka secara halus.

Artha hendak protes, namun Serena langsung menariknya keluar setelah membisikkan kata kepadanya. Mereka keluar dari kafe, aku menghembuskan napas lelah. Lyn yang mengerti kondisiku langsung mengajukan diri menggantikanku. Senang rasanya mempunyai orang cekatan seperti Lyn, tidak perlu dijelaskan dua kali dia langsung paham.

HiraethWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu