015

86 10 3
                                    

Sudah satu jam lebih aku hanya berkutat dengan komputer di depanku. Bahkan saat Kenzie mengajakku bicara hanya aku abaikan. Tidak berniat menjawab pertanyaannya yang sejak tadi mengkhawatirkanku.

"Sebenarnya kau ini kenapa, Ra? Apakah Julia membuat kesalahan yang besar sampai kau menjauhinya? Kalau begitu biar aku bicara dengannya," ucap Kenzie yang terus menatapku bingung.

"Kenapa Julia terlihat berbeda? Dia seperti bukan Julia yang dulu," tanyaku kepadanya.

Kenzie terlihat berpikir. "Mungkin karena pengaruh pacarnya?"

Aku berhenti menggeser mouse. "Pacarnya?" beoku.

Kenzie menarik kursi lebih dekat denganku. "Berdasarkan rumor yang beredar, Julia mengencani bosnya sendiri! Kau sudah lihat sendiri interaksi mereka berdua bukan? Oliver Ravegan itu pria yang diminati banyak wanita, termasuk juga Julia," jelasnya sambil berbisik pelan saat menyebut nama Oliver.

"Itu hanya rumor," sanggahku sambil menggerakkan mouse komputer lagi.

"Tapi mereka terlihat bersama disebuah resort mewah," ucapnya lagi.

Aku menatapnya. "Benarkah?"

Kenzie mengangguk.

"Tapi Julia adikmu, kau lebih percaya rumor?"

Kenzie menggedikkan bahu. "Dia hanya adik angkatku. Aku tidak masalah jika dia berkencan dengan pria di luar sana," jawabnya.

Sebenarnya aku tidak hanya memikirkan Julia. Aku juga memikirkan caraku bersikap dengan Oliver saat bertemu di luar jam bekerja. Apakah aku tetap bisa bersikap seperti biasa padanya? Kurasa tidak. Dia adalah CEO pemilik perusahaan A. Jika Tn. Thomas tahu aku bersikap tidak sopan dengan rekan kerjanya, maka aku bisa saja di hukum mengerjakan semua dokumennya. Aku harus menjauh dari Oliver. Itu lebih baik demi pekerjaanku. Aku menggantungkan pekerjaan ini demi keberlangsungan Rose Cafe. Sudah sejak awal saat Rose Cafe di bangun, aku sudah bekerja banting tulang di perusahaan Tn. Thomas.

Seperti saat ini, saat aku berada di kafeku. Aku memilih melayani di bagian kasir saja. Sedangkan Lyn yang mengantarkan makanan ke pelanggan. Ryan sepertinya belum selesai dengan kuliahnya. Terlihat tidak ada kehadirannya di kafe sore ini. Ellie membantu Deren di dapur. Pesanan kami sore ini juga banyak sekali. Sampai Lyn kelimpungan membawakan pesanan disaat tidak ada Ryan.

Lyn berjalan kesana-kemari sambil memanggil si pemilik pesanan. Kasian sekali anak itu. Aku juga kesulitan menangani pembeli di bagian kasir. Jadi aku tidak bisa membantunya. Entah sudah berapa orang yang aku catat pesanannya. Aku bahkan meminta bergantian kepada Ellie yang sekarang berada di bagian kasir, sedangkan aku membantu Lyn.

Seperti dugaanku sebelumnya, Oliver datang lagi ke kafeku. Aku mengabaikannya dan fokus ke pekerjaanku. Dia sekarang sudah sering datang kesini. Bukan di hari tertentu saja. Bahkan hari yang tidak diduga sebelumnya. Dia masih mengenakan kemeja putihnya sambil menenteng sebuah paperbag. Untungnya aku tidak berada di bagian kasir, jadi aku bisa sedikit menjauhinya.

Bahkan saat Ellie mengatakan padaku untuk mengantar pesanan milik Oliver, aku langsung menolak. Aku beralasan mau ke toilet karena perutku mulas. Padahal aku sengaja menolak permintaannya. Ellie memang belum tahu jika palanggannya itu adalah seorang CEO perusahaan A yang dijuluki perusahaan raksasa. Bisa gawat jika sampai Ellie tahu.

Setelah beberapa jam berlalu, pelanggan sudah mulai sepi. Aku menghela napas lega. Setidaknya aku sudah bekerja keras hari ini. Masih ada hari esok dan besok-besoknya lagi. Aku melepas apron di tubuhku dan meletakkan di gantungan.

Kami berkumpul di sebuah meja setelah menutup kafe. Hal ini karena kami sudah cukup kelelahan. Bahkan Ryan yang baru selesai kegiatan di kampus langsung di beri pekerjaan banyak. Aku tahu betapa lelahnya dia. Maka demi kewarasan semura orang, aku menutup kafe lebih awal.

"Kita mau membicarakan apa?" tanya Ellie duduk di kursi sambil meminum jus mangga kesukaannya.

"Rapat dadakan lagi?" tanya Deren yang datang sambil membawa keripik kentang.

"Aku ingin mengevaluasi tentang hari ini," ucapku menatap mereka bergantian.

Lyn mendekat padaku. "Apakah akan ada rombakan ulang?" tanyanya.

Aku tertawa pelan. "Tidak Lyn, bukan itu," aku berdehem pelan. "Jadi aku berpikir ingin menambah karyawan baru di kafe ini," ucapku.

Ryan bertepuk tangan. "Ide bagus. Kita tidak perlu kerja bagai kuda setiap hari jika punya orang baru yang bisa membantu," ucaonya setuju denganku.

Deren mengangguk setuju. "Ya aku pikir juga begitu. Melihat kalian bekerja seperti melihat ayam yang tidak punya rumah," ucapnya yang dibalas tatapan tajam Ellie.

"Tapi darimana kita bisa mendapatkan karyawan baru itu?" tanya Lyn.

"Tenang saja, Lyn. Aku punya banyak teman yang membutuhkan pekerjaan. Mungkin Ellie bisa menyeleksinya dan memilih beberapa," ucap Ryan.

"Memangnya kita butuh berapa?" tanya Ellie kepadaku.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Satu orang,"

Reaksi Ryan, Ellie, Deren, dan Lyn seperti yang sudah aku duga sebelumnya. Mereka ternganga tidak percaya. Jika aku hanya membutuhkan satu orang saja.

"Kenapa hanya satu?" tanya Ryan.

Aku memutar bola mataku. "Oh ayolah, pendapatan Rose Cafe tidak sebanyak itu," ucapku.

"Tidak juga, gajiku selama ini cukup saja. Benarkan Lyn?" ucap Ryan menoleh ke adiknya. Lyn mengangguk.

"Itu karena kalian satu rumah!" beoku. Ryan dan Lyn hanya membalasku dengan tertawa.

"Baiklah aku akan mengusahakan mencari orang baru itu," ucap Ryan meyakinkan. Dia mengeluarkan sebuah note dan polpen dari sakunya. Aku menatapnya bingung. "Jelaskan ciri-ciri kandidat yang ingin aku cari itu," ucapnya.

"Of course dia membutuhkan pekerjaan. Jika dia membutuhkan pekerjaan tambahan it's okay rekrut saja dia. Punya kemauan untuk bekerja dalam tim. Tidak masalah pria atau wanita yang penting mau bekerja. Umur sekitar dua puluhan dan bekerja cekatan tidak mudah mengeluh," ucapku yang ternyata memang di tulis oleh Ryan di note kecilnya.

"Ada lagi?"

Aku menggeleng.

"Baiklah, pesanan akan datang besok," ucalnya menutup note kecilnya itu.

Aku bangkit dari dudukku. "Aku pulang dulu, Hazel belum makan," ucapku.

"Mau aku antar ke rumah?" tanya Deren.

Aku menggeleng. Tidak mau merepotkan Deren. Aku tidak membawa mobil sejak pagi tadi. Mobilku masuk ke bengkel lagi dan lagi. Jadi wajar saja dia menawarkan tumpangan. Tapi lebih baik aku menolaknya, tidak enak jika dia putar balik karena rumahnya tidak searah denganku.

Aku segera keluar dari kafe, menuju ke sebuah halte. Tapi sebuah tangan besar menahan lenganku. Aku sedikit terkejut. Ternyata itu Oliver masih dengan masker dan kemeja putihnya. Jadi dia belum pergi dari kawasan kafeku.

Aku menarik tanganku. "Apakah ada masalah tuan Ravegan?" tanyaku. Dia terdiam sesaat.

Dia menatapku lalu menghela napas. "Kenapa kau menjauhiku?" tanya Oliver.

"Mungkin itu hanya pemikiran tuan saja. Saya tidak menjauhi siapapun," ucapku.

"Kenapa kau menjadi bersikap formal denganku? Kita tidak sedang berada di kantor." ucapnya.

"Saya menghormati anda, dan saya permisi tuan." ucapku balik badan hendak pergi. Tapi tangan Oliver menahanku lagi.

Aku menatapnya.

"Aku akan menjelaskannya padamu."


***

Dear, pembaca Hiraeth yang sering kena gantung.

Maafkan aku yang sering ngaret updatenya. Banyak kesibukan yang aku jalani saat ini. Jadi mohon maaf jika updatenya sering nelat jauh banget dari perkiraan.

Thanks. luv u all...

tertanda,

Lemon pacar DPR Ian.

HiraethWhere stories live. Discover now