006

206 27 3
                                    

Membayangkan hal yang sebelumnya tidak kamu duga sebelumnya kini ada di depan matamu sendiri. Setelah pulang dari kantor aku menuju Rose Cafe, dan disana sudah ada rumah kucing yang tidak aku pesan sebelumnya, ralat belum aku pesan sama sekali. Lyn memberitahukan padaku jika pengantarnya hanya meminta tanda tangan penerima dan setelahnya langsung pergi. Aku sempat memarahi Lyn karena menerima barang dengan mudah, namun mengingat yang mengirimkan barangnya langsung dari toko perlengkapan hewan itu membuatku merasa bersalah sudah memarahinya.

Aku melihat rumah kucing di depanku, berwarna biru muda dengan hiasan yang bagus. Siapapun yang memberikan ini untukku, aku merasa sangat tersanjung mendapatkan hadiah ini. Tentunya aku sangat berterima kasih karena telah membelikan rumah kucing untuk Hazel. Aku mendengar bunyi pintu kafe yang berderit, menandakan ada pelanggan datang. Saat ini belum terlalu malam, jadi kami belum menutup kafe.

Aku segera mengambil buku menu dan menguncir rambutku setelah tadi sempat berganti pakaian kerjaku. Aku menemui pelanggan itu dan menanyakan pesanannya, lalu kembali ke dapur untuk memberikan pesanannya kepada Deren dan Lyn. Sedangkan Ryan yang akan mengantar pesanannya.

"Apakah hari ini banyak pelanggan?"  tanyaku kepada Deren yang asik mengiris daging ikan salmon.

"Seperti biasanya," jawab Deren.

Aku memutar mata, kebiasaan Deren kali ini: menjawab pertanyaanku yang satu itu sama seperti sebelum-sebelumnya. Dia sebenarnya pria yang baik, dia tidak suka membuatku kesal. Tapi dia seperti orang yang perfecto. Apapun yang dilakukannya harus tampil mengagumkan. Seperti saat ini, memandanginya berkutat dengan ikan salmon itu membuatku bosan. Tapi demi lancarnya bisnis Rose Cafe ini, aku tetap menganggapnya seperti keluargaku sendiri.

"Rain! Kenapa kau melamun?! Ada yang mau memesan itu!" ucap Lyn yang sejak tadi berada di dapur membantu Deren. Aku tersadar dari lamunanku dan segera kembali ke tempat semula.

Aku membenarkan topiku dan tersenyum menyambut pelanggan baru, "Bisa saya catat apa pesanan anda?" tanyaku. Pelanggan itu seorang pria yang mengenakan kemeja hitam, dipadukan dengan topinya, dan menggunakan masker untuk menutupi wajahnya. Dia melihat menu yang terpampang di buku menu.

"Apakah anda ingin memesan sesuatu?" tanyaku lagi bersiap di mesin ketik untuk mencatat pesanan.

Tetapi pria itu tidak kunjung menyebutkan pesanannya. Padahal di belakangnya sudah ada dua orang yang mengantri. Aku tersenyum lagi, ini bisa menjadi urusan lagi seperti sebelum-sebelumnya. Dengan kesabaran seluas samudera aku menunggunya mengatakan sesuatu.

"Apa..." ucapnya sambil melihat menu dan beralih menatapku, aku menaikkan alis, "Apa menu yang paling disukai di tempat ini?" tanya pria itu. Seperti pernah mengenalnya.

"Um.. kalau dari pelanggan banyak yang menyukai menu..." ucapku hendak menjelaskan menu yang disukai para pelanggan tetap Rose Cafe.

"Rekomendasikan pada saya salah satu yang terbaik," ucap pria itu.

Aku memikirkan sejenak ucapannya dan mulai merangkai berbagai macam menu, memilih salah satu menu yang paling aku sukai, "Saya merekomendasikan Souffle Pancake, itu salah satu menu andalan kami," ucapku.

Pria itu mengangguk mengerti, "Saya pesan satu Souffle Pancake," ucapnya yang langsung aku catat pesanannya.

"Baik satu Souffle Pancake atas nama?" tanyaku menatap matanya.

Pria itu menatapku sebentar, "Rav," jawabnya.

Aku mengangguk, "Satu Souffle Pancake atas nama Rav, silahkan menunggu pesanan anda terlebih dulu," ucapku memberikan nota pesanan padanya.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang