016

67 8 1
                                    

Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya jika seorang Oliver Ravegan itu adalah orang yang sama dengan orang yang sering datang ke kafeku. Bahkan aku tidak menyadarinya jika mereka adalah orang yang sama dan sialnya aku bertemu dengan rekan kerja bosku seorang CEO perusahaan A. Tidak pernah terbayangkan olehku jika Oliver Ravegan adalah seorang pria yang saat ini berdiri di depanku sambil menatapku menunggu persetujuanku untuknya menjelaskan. Dia yang selama ini datang ke kafeku sekarang mengenakan kemeja kerjanya dan jas hitam yang melekat di tubuhnya.

Aku tidak bisa mendefinisikan perasaanku sekarang ini. Seolah tidak ada gunanya juga aku mengurusi kehidupannya. Dia bisa bebas dengan hidupnya sendiri. Sedangkan aku hanya bos pemilik kafe dan seorang karyawan di sebuah perusahaan. Dia adalah seorang keluarga konglomerat pemilik perusahaan A. Hal yang aku lakukan tidak ada artinya.

"Apa yang ingin kau jelaskan?" tanyaku padanya.

Dia terdiam beberapa saat sambil menatapku. "Aku tahu kau pasti menyadarinya."

Alisku bertaut. "Menyadari bahwa Rav dan Oliver itu adalah satu orang yang sama? Begitukah maksudmu?"

Dia mengangguk singkat.

"Dengar, meskipun kau adalah orang yang sama, semua itu tidak ada hubungannya denganku," ucapku menatapnya tajam. Aku melewatinya begitu saja. Namun dia tidak membiarkanku kabur.

Dia menahan lenganku. "Aku akan mengantarmu pulang." ucapnya.

"Aku bisa naik bus sendiri," ucapku berusaha menarik lenganku kembali. Dia melepaskan tanganku.

"Aku tidak akan memaksa." ucapnya memberiku kesempatan untuk pergi.

Setelah itu aku langsung meninggalkannya begitu saja. Tidak peduli dengan raut kecewa yang tertera di wajahnya. Aku tidak berniat untuk mengenalnya lebih jauh. Asalkan dia tidak menganggu hidupku.

Aku menaiki bus untuk sampai ke apartemenku. Sesampainya di apartemen aku langsung naik lift untuk kelantai dimana kamar apartemenku berada. Aku menunggu pergantian lantai yang terus menerus naik ke atas. Hingga angka menunjukkan angka 57. Aku segera turun dari lift dan menuju pintu apartemenku. Tapi di depan pintu apartemenku terdapat seseorang dengan tinggi yang setara denganku. Aku menyipitkan mata. Dengan langkah ingin tahu, aku mendekatinya.

"Maaf sedang mencari siapa ya?" tanyaku padanya.

Dia menatapku dengan mata bulatnya itu, dia terlalu lucu untuk ukuran remaja seusianya. "Kakak ini, kak Rain atau bukan?" tanyanya.

Aku menyipitkan mata curiga. "Kenapa mencariku?"

Anak remaja itu tersenyum sesaat. Sebelum dia memberikanku sebuah bunga mawar merah yang masih segar. Aku menatapnya bingung, apa maksudnya memberikan bunga ini padaku.

"Aku hanya disuruh kak Liver untuk memberikan bunga ini." ucapnya polos.

Aku menerima bunga itu. "Liver? Oliver?"

Anak itu mengangguk senang.

Aku refleks membulatkan mata terkejut. "Jadi... kau Orion?"

"Iya aku Orion Ravegan. Kakak bisa panggil aku Rion." ucapnya.

"Tunggu Rion... kau benar-benar tinggal disebelahku?" tanyaku menatapnya.

Orion mengangguk. Lalu dia menunjuk pintu sebelah pintu apartemenku. "Aku tinggal di sana."

Dia tidak terlihat mirip Oliver. Tapi tidak mungkin anak remaja ini berbohong padaku. Apalagi dia mengenal Oliver. Pastinya dia anak yang cukup populer di sekolahnya.

"Kau serius soal ini?" tanyaku masih curiga. Takut jika ini hanya tipu daya orang asing.

"Aku serius, kak, aku tidak berani membawa nama keluarga Ravegan dihadapan orang yang tidak dikenal." jelasnya.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang