9-EPISODE PATAH HATI YANG BELUM USAI

14 2 0
                                    

Selamat menikmati kisah para pemuda penghuni lantai 2 kos 20. Semoga kalian bisa terhibur dan tidak merasa sendiri di dunia ini<3

Now Playing :
Ku Dengannya Kau dengan dia-Afgan

"Yang benar kamu, Tihan?! Ayah aja gak tau kalau Daniel itu anaknya om kamu." Pagi hari Tito sudah disambut dengan ungkapan dari Tihan. Hampir bertahun-tahun Tito bersahabat dengan papa Tihan, ia memang tidak menahu apapun tentang keluarga sahabatnya itu. Terutama Daniel, yang merupaka sepupu Tihan.

Tapi ini masuk akal menurutnya. Dulu, Tara memang tidak terbuka mengenai keluarganya. Lelaki itu jarang membawa Tito untuk sekedar berkunjung atau main ke rumahnya. Wajar jika Tito tidak banyak tau. Tapi, ini terlalu plot twist menurutnya.

"Benar, yah. Makanya, waktu malam itu aku syok dengan kehadiran Daniel," balas Tihan.

Tito memijat kepalanya sedikit pusing. "Tapi, bukankah ini kabar bagus? Daniel pasti hampir punya sifat yang seperti kamu. Baik, jujur, dan bisa dipercaya. Ya walaupun setiap manusia itu sifatnya berbeda, tapi pasti gak beda jauh lah kamu dengan Daniel. Benar?"

Dan inilah masalahnya

Tihan hanya bisa menghela nafas panjang. Ingin rasanya ia meneriakkan semua keburukan Daniel di depan Tito agar lelaki itu bisa melarang putrinya itu berhubungan dengan Daniel. Tihan hanya bisa menahan kalimat itu di tenggorokannya.

"Kalau boleh tau, sifat Daniel itu kayak gimana?" Tanya Tito penasaran. Sepertinya laki-laki paruh baya ini ingin mencari kebenaran atas dugannya tadi.

Tihan memalingkan wajahnya. Di otak Tihan hanya terekam jelas semua keburukan sepupunya itu. Tidak ada sama sekali kebaikan. Ia mati kutu sekarang. Menjawab jujur, pasti akan berdampak ke hubungan Alin dan Daniel. Apalagi Alin baru kali ini menjalin hubungan. Tihan tidak tega jika melihat gadis itu bersedih.

Tapi jika Tihan berbohong, itu sama saja kalau ia membiarkan Alin terjebak dihubungan yang membuatnya akan semakin terluka. Karena dari awal Alin mengiyakan ajakan Daniel untuk menjalin hubungan, itu sama saja menyerahkan diri ke sebuah penderitaan.

Tihan terus terdiam. Kerutan di dahi Tito tercetak jelas. "Tihan, ayah ajak kamu bicara loh," tegur Tito, merasa lama sekali mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang menurutnya sangat sederhana itu.

"Anu, yah—"

"Anu apa? Bicara yang jelas," potong Tito tidak sabaran.

"Daniel aslinya—"

"TIHANNN, AYOO BERANGKATT!" Seorang gadis keluar dari dalam rumah lengkap dengan seragam sekolah yang seperti biasa selalu rapi.

Kedua laki-laki yang berbeds usia itu memoroskan mata mereka menatap Hanin, yang berjalan menghampiri keduanya dengan senyum yang terus mengembang.

"Ih, kok Tihannya keringetan, yah? Ayah suruh push up lagi, ya?" Tanya Hanin heboh saat melihat bulir-bulir keringat membasahi dahi Tihan.

"Mana ada. Ayah aja dari tadi ngobrol sama dia. Gak ada yang nyuruh push up. Tanya aja sama Tihan," elak Tito.

"Bener, Han?" Mata Hanin tertuju pada Tihan.

"Iya, enggak kok. Matahari pagi ini kayaknya lagi panas banget," alibi Tihan. Setidaknya ia bisa bernafas lega sekarang, menghindari pertanyaan ayah Hanin yang hampir saja seakan membunuhnya.

"Udah siap?" Tanya Tihan, sementara Hanin mengangguk. Laki-laki itu bangkit dan menyalami lebih dulu tangan Tito. "Kita berdua pamit ke sekolah dulu ya, yah," ucap Tihan.

"Iya, hati-hati, Han. Jangan ngebut. Di sekolah jangan main-main, fokus belajar, dan jangan lupa makan, ya!" Wejangan Tito dari dulu tidak berubah saat kedua anak-anaknya ini ingin berangkat ke sekolah.

KOS 20Where stories live. Discover now