11 - Pelayan Lancang

77.9K 5.6K 52
                                    

"Sayang,"

"Awas Lucas!"

Sejak pulang dari perusahaan, Rene terus menghindari Lucas. Dia hanya masih sebal, melihat Lucas yang tidak memberontak saat Friska duduk di pangkuannya. Padahal sebelum Rene datang, Lucas selalu menganggap Friska tak ada di sekitarnya. "Sayang, ini hanya kesalahpahaman! Aku berani bersumpah, aku tidak melakukan apa pun dengannya!"

"Dia melakukan apa-apa kepadamu!"

Brak!

Rene membanting pintu dan berjalan pergi meninggalkan Lucas yang menatap nanar pintu kamar, Rene memasuki lift yang langsung membawanya turun ke lantai dasar di mana dapur berada. Rene tiba-tiba ingin sesuatu yang pedas, dia tahu, dia tidak akan diizinkan memegang alat-alat dapur maka Rene memanggil seorang Chef yang asli Korea.

"Aku mau ramyeon! Yang pedas!"

"Baik, tunggu sebentar, Nyonya."

Rene pun duduk di meja makan sembari mengunyah makanan kering dalam toples. Ketenangan yang dia rasa langsung lenyap saat suara seperti kaleng rombeng, memasuki gendang telinganya. "Kau memang Nyonya tidak tahu diri, kerjaan setiap hari hanya membebani banyak orang!"

"Itu salah satu keuntungan jadi Nyonya, so, pelayan diam saja deh." Rene membalas dengan santai, membuat si pelayan yang tidak lain, Viona, mengepalkan kedua tangannya dengan erat.

"Kau! Kau berani padaku sekarang?"

"Sejak kapan aku takut pada badut sepertimu?"

Rene berdiri, hendak pergi, sebelum tangannya di tahan oleh Viona dengan sedikit kuat. "Irene Jossi, kau harus tahu siapa aku di sini! Sebelum kau berani menentangku, aku adalah wanita Lucas di kediaman ini! Dia akan selalu membutuhkanku untuk menghangatkan ranjangnya!"

"Oh, berarti selain menjadi pelayan lancang, kau juga pelacur yang tidak ada harga dirinya?" Rene menyentak tangan Viona dari lengannya, menatap wajah penuh make up itu dengan sinis. "Kau tidak lebih dari badut lampu merah, pakaian yang kekurangan, dan urat malu yang putus. Apa yang bisa di banggakan dari dirimu? Keahlian menggoda om-om? Haruskah aku belajar keahlian itu langsung dari gurunya? Kamu?"

"Irene!"

Viona hendak mendorong Rene tapi derap langkah kaki, membuatnya sengaja jatuh sendiri dan mengacak rambutnya seakan-akan baru saja di aniaya oleh Rene. Rene? Apakah dia akan diam saja dan menjadi patung? Maka jawabannya tidak, Rene malah sengaja menendang dada Viona hingga jatuh terlentang.

Tanpa rasa takut atau seakan-akan menjadi tokoh yang di fitnah, Rene malah menginjak paha Viona. Dia membungkuk sembari berbisik pada Viona, "Kau ingin terlihat seperti habis aku siksa kan? Maka aku akan mewujudkan tanpa perlu meladeni drama murahanmu," Rene menjambak rambut Viona dengan kuat.

"Sayang?"

Kedatangan Lucas akan membuat Viona tidak berani melawan, dia akan berperan sebagai korban yang tersakiti. Maka Rene akan mengabulkan drama buatan Viona, dia menarik rambut Viona hingga tubuh itu terseret. Apa Lucas marah? Pria itu malah duduk di kursi meja makan dan mengunyah makanan yang tadi Rene makan sebelum Viona datang mengacau.

"Nyonya, ramyeon Anda sudah selesai."

"Bagus, sini."

Rene mengambil mangkuk ramyeon dan dengan santai, menumpahkan ke atas kepala Viona.

"ARGH! SAKIT! PANAS!"

"Lebay! Neraka lebih panas dari kuah ramyeon, dasar penjilat!"

Rene mengibaskan rambutnya, dia menatap sengit pada Lucas dan melenggang pergi. Lucas yang di tatap sengit, buru-buru mengejar langkah istrinya dengan tetap membawa makanan ringan yang tadi dia makan.

***

Tengah malam ketika guntur saling bersahutan di luar sana, Rene berjalan meninggalkan kamar menuju lantai 6 di mana kamar putranya berada. Wanita itu membuka pintu dengan sangat perlahan, melihat putranya yang tertidur di meja belajar dengan kepala telungkup di atas lipatan tangan.

Ucapan Lanie tempo lalu kembali berputar, "Tuan muda adalah anak yang sangat terobsesi pada kesempurnaan. Dia selalu ingin menjadi dominan dalam situasi apa pun, baginya, dia adalah pengendali. Tidak kaget, Nyonya. Jika sikap Tuan muda begitu sarkas dan tajam."

Tapi saat tertidur, Ezekiel tampak sama seperti anak seusianya. Wajahnya yang terlelap nyenyak, membuat hati Rene begitu tenang dan damai. Wanita itu memberanikan diri untuk mengulurkan tangan, mengusap kepala putranya dengan lembut. "Mama sangat menyayangimu, Mama sangat mencintaimu. Mama lebih baik kehilangan Papamu dari pada harus kehilanganmu, maafkan Mama jika Mama membuatmu tak nyaman."

Rene menjauhkan tangannya dari kepala Ezekiel, Rene terlalu takut menganggu tidur anaknya. "Mama tidak tahu apa kesalahan Mama di masa lalu hingga kamu begitu benci pada Mama, Mama benar-benar tidak mengingatnya, bisakah kamu mengatakan semuanya pada Mama? Mama janji akan berubah, Mama akan membuktikan. Jika Mama melanggar, kamu boleh menembak Mama ...."

".... Kata Lanie, kamu suka ikut latihan menembak. Kamu pasti sangat hebat saat menembak Mama nanti, Mama akan pergi dengan tenang jika anak tampan Mama yang mengantarkan Mama pada kematian." Rene menahan air matanya yang memaksa untuk turun, "Mama sangat tidak becus ya menjadi Ibu? Kebiasaan kamu saja, Mama perlu bertanya pada orang lain lebih dulu. Maafkan Mama,"

Rene memberanikan diri untuk mengecup kening Ezekiel dan pergi, Rene takut membangunkan Ezekiel. Jujur, Rene belum siap mendapat kalimat tajam dari putranya lagi. Cukup luka kemarin yang baru saja sembuh, tepat setelah pintu kamarnya tertutup, Ezekiel mengangkat kepalanya. Ezekiel terbangun tepat ketika ada tangan yang mengusap kepalanya.

Bocah laki-laki itu membuang pandangannya dan mengusap air matanya dengan kasar, "Mama. Maafkan aku, aku yang salah." Ezekiel berlari ke kamar mandi, bocah itu menyalakan shower dan sengaja masuk ke dalam bathup yang terisi air dingin.

Ezekiel, untuk pertama kalinya setelah entah kapan, dia .... Kembali menangis.

Ezekiel mengepalkan kedua tangannya, dia menggigit lengannya sendiri dengan sangat kuat untuk menyalurkan rasa amarah yang tertuju pada dirinya sendiri. Air yang semula bening, langsung ternodai kemerahan darah. "Mama, aku salah. Tidak seharusnya aku mengatakan kalimat yang melukaimu, aku salah. Maafkan aku, aku hanya tidak ingin kau mati karena aku tapi kau? Malah meminta aku yang menjadi malaikat pencabut nyawa untuk dirimu sendiri."

Siapa yang bilang jika Ezekiel terlahir tak memiliki hati?

Siapa yang bilang jika Ezekiel dilahirkan hanya untuk menjadi iblis?

Semua itu salah.

Ezekiel tetap bocah seusianya yang suka menangis saat di bentak sang Ibu, saat merindukan Ibunya, dan anak yang kadang iri dengan kehangatan keluarga teman-temannya di sekolah. Ezekiel ingin seperti mereka yang tiap di antar sekolah, pasti oleh kedua orang tuanya. Kening mereka akan di kecup orang tua mereka, mereka juga akan di beri kalimat penyemangat yang manis.

Ezekiel? Tidak pernah.

Kakek buyutnya menentang semua didikan lemah lembut untuk Ezekiel, membuat bocah itu terbiasa dengan segala jenis kekerasan dan kekejaman.

"Mama, Ezekiel menyayangi Mama."

Dia bergumam sebelum matanya benar-benar tertutup.

***

Perpindahan Dimensi Sang Penulis Where stories live. Discover now