44 - Kebencian Terpendam

26.3K 1.8K 143
                                    

Rene menutup kaca mobilnya dan pergi meninggalkan halaman lapangan pelatihan tempat putranya berlatih seakan di didik untuk menjadi bagian dalam militer negara padahal di didik agar menjadi penerus kerajaan bisnis keluarganya. Tangannya menyentuh saku celana, mengeluarkan pisau lipat yang sebelumnya dia bawa.

"Aku akan selalu membutuhkan ini kelak, karena persaingan bisnis tidak selalu sehat dan sejalan dengan pikiran positif. Nyawaku bisa kapan saja terancam tanpa tahu jadwal menentu, jika ancaman itu datang, yang aku butuhkan bukan orang lain tapi diriku sendiri." Rene mengembuskan napasnya dan beralih memasukan pisau lipat ke dalam mantel tebalnya.

Dia mengitari jalanan yang tidak asing untuknya, "Satu-satunya kunci yang aku bawa dari dimensi pertama hanya mobilku yang telah hancur lebur terbakar. Aku tidak memiliki hal lain yang aku bawa dari dimensi pertama kecuali diriku sendiri," Dia mengembuskan napasnya dengan mata yang tidak sengaja melihat kejanggalan dari belakang.

"Aku memang baru menonton film laga, bukan berarti aku harus mempraktekkannya sekarang kan?" Rene menyipitkan mata saat dirinya melihat, jika 1 mobil di belakang memang mengejar dirinya. "Shit! Untung mereka mengejarku saat Ezekiel sudah tidak bersamaku," Rene menginjakan penuh pedal gasnya dan begitu lincah menyalip satu mobil demi satu.

"Rencanaku membeli bensin sepertinya tidak akan terlaksana," Rene menaklukkan tikungan tajam dengan mudah. Dia mencari jalan yang sepi sembari satu tangannya, membuka dashboard mencari sesuatu yang bisa menolongnya. "Gotcha! Tidak salah aku memakai mobil Luke," Rene menemukan beberapa jenis pistol. Dia pun mengambilnya dan memasukkannya ke dalam saku mantel.

Ketika jalanan menanjak, mobilnya tiba-tiba mati kehabisan bensin. "Sial! Sial! Sial! Aku ini lagi mau main film laga, kenapa juga harus kehabisan bensin?" Rene melihat ke belakang, mobil musuh semakin dekat. Tidak ada waktu untuk bersikap menye-menye, dia pun turun dari mobil dan berlari ke atas. "Sial lagi! Kenapa juga jalanan ini harus naik ke atas?!"

Berlari menaiki jalanan yang menanjak, membuat Rene terengah-engah. Dia mengeluarkan ponselnya yang tidak berguna karena mati kehabisan baterai, dia pun melempar ponselnya asal, menatap belakang di mana mobil musuh semakin mendekat. "Baik, mari kita gunakan pelajaran di film dengan baik!"

Rene berbalik badan dan berhenti berlari, wanita itu membidik ban mobil dan menembakkan peluru. Membuat mobil musuh kehilangan kendali dan jatuh dari ketinggian ke bawah yang curam, Rene ikut melihat ke bawah, bagaimana mobil terperosok dan meledak di bawah sana. "Ih! Mengerikan! Semoga setelah ini, mereka tidak menggangu mimpi burukku!"

Rene kembali berlari menanjak, dia terus berlari sampai lelah sendiri. "Harusnya aku turun ke bawah, bukan nanjak. Apa aku harus putar balik ke bawah?"

"Kau tidak akan bisa ke mana-mana kecuali mati, Irene Jossi."

Rene menoleh ke arah belakang, sudah begitu banyak pria berpakaian serba hitam dengan wanita di depan mereka semua. Wanita yang membuat Rene ingin mendekat tapi todongan pistol, membuat langkah majunya terhenti. "Laudya, kau datang untuk menjemput aku kan? Kau pasti tahu kalau aku sedang terdesak,"

"Sayangnya, pemikiranmu keliru, Irene. Aku datang bukan untuk menjemputmu tapi menjadi malaikat maut untukmu,"

Rene mengerucutkan kening, "Apa maksudmu? Tidak perlu bertele-tele, aku bukan seseorang yang sabar menghadapi basa-basi menjijikan!"

"Kau selalu sama, Irene. Sama-sama angkuh dan tak kenal takut," Laudya yang sekarang mendekat. Dia menatap Rene tajam dan mencengkeram dagunya. "Jika kau menepis tanganku, puluhan peluru akan menghantam kepalamu." Rene menatap ke belakang Laudya yang memang benar, ada begitu banyak pistol yang siap menembaknya, dia pun mengurungkan niat dan membiarkan Laudya mencengkeram dagunya.

"Apa maksud semua ini, Laudya? Apa kau siap bermain drama aksi denganku?"

"Ini bukan drama aksi tapi drama kematian dirimu,"

"Maksudmu?"

"Irene, sudah cukup selama ini aku membiarkanmu hidup tenang setelah menjadi pembunuh Kakakku dan penyebab Adikku di bunuh!"

Kakak? Adik?

"Laudya ...." Rene kini menajamkan matanya, dirinya baru sadar akan satu hal. "Laudya Walter?"

"Tepat, apa kau sudah tahu siapa diriku sekarang? Selain menaruh kebencian dan dendam padamu, aku juga berperan sebagai keluarga dari korban yang kau bunuh."

"Mereka bukan korban! Mereka pelaku! Mereka yang menginginkan kematianku! Aku hanya ingin membalas perbuatan mereka!" Rene memejamkan mata saat cengkeraman di dagu berubah menjadi cekikan erat di lehernya.

"Tutup mulutmu! Kau tetap pembunuh di mataku!"

"Terserah! Aku tidak peduli kau mau menganggap aku apa dalam hidupmu," Rene melihat situasi dirinya yang sulit. Jika dia menusuk Laudya dengan pisaunya maka mereka semua yang bersiaga di belakang, akan menembak dirinya. Kalau begini, sama saja seperti menyerahkan diri pada kematian dan membuat Laudya merasa menang meski sekarat nanti.

"Kau berhasil membuatku terjebak, Laudya."

"Itu tujuanku,"

Laudya melepaskan cekikan tangannya di leher Rene dengan cara mendorongnya, bukannya mengelak atau menyelamatkan diri. Rene malah membiarkan dirinya melewati pembatas jalan yang akan membuatnya jatuh terperosok seperti mobil sebelumnya, tapi Rene tidak sesederhana itu. Dia berpegangan pada besi pembatas, mengangkat pistolnya dan menembak secara diagonal.

Dia tersenyum melihat banyak pengawal Laudya yang tertembak, dia tidak ingin jatuh sia-sia. Dia pun menembakkan peluru terakhir yang langsung mengenai perut Laudya. "Kau tidak boleh mati hanya dengan tertembak Laudya, tunggu aku datang ke hadapanmu." Rene melepaskan pegangannya pada pembatas jalan sebelum pengawal Laudya menembak dirinya dari dekat.

Di sela-sela tubuhnya melayang, Rene mengangkat jari tengahnya dan gerakan bibir. "Fuck you!"

Lalu setelah itu, tubuhnya menghantam tanah yang membuat sekujur tubuhnya kotor oleh lumpur tapi ini lebih baik dari pada patah tulang jatuh di atas batu. "Lumpur, kali ini aku berterima kasih tapi lain kali, aku akan mengumpat!"

Rene mengusap kasar wajahnya, "Aku malah mirip anak kecil yang jatuh dari sepeda lalu terjerembab ke got, aku mirip seperti mereka. Betapa malangnya aku," Rene berjalan dengan menyeret satu kakinya yang sepertinya terkilir. "Pisau! Pisauku," Rene merambah saku mantelnya dan menghela napas lega.

"Untung dia mendorongku tidak ke pendaratan yang mematikan, ini lebih baik dari pada mati tertembak di atas sana." Rene melepas mantelnya hingga hanya menyisakan kemeja putih yang ternoda lumpur, "Lumpur lebih baik dari pada darah. Tapi darah lebih keren, ah masa bodo lah! Lebih baik aku cari jalan keluar sebelum kedua kakiku membiru dan tak berguna lagi."

Di atas sana, Laudya berteriak keras memerintahkan agar seluruh anak buahnya turun mencari Rene. Dia baru menyadari, jika pun terjatuh, Rene tidak akan mati. "Dia pasti sedang menertawakan aku sekarang," Laudya mengusap perutnya yang tertembak. "Tapi dia bodoh, dia menambakku yang memakai rompi anti peluru." Sedikit nyeri tapi tidak masalah, yang penting tidak tertembak.

***

SPAM KOMENT UNTUK NEXT!!

Perpindahan Dimensi Sang Penulis Where stories live. Discover now