Part 54 Membujuk

9 1 0
                                    

Happy reading 🍀

[Ami, kamu ada dimana sekarang?] isi pesan yang membuat tidur Ami terusik.
Perlahan ia mengambil ponselnya di atas nakas, melihat jam yang tertera pukul satu pagi.

Sebuah panggilan masuk dari Arum, lalu tertutup sebelum Ami mengangkatnya.
[Aku ada di rumah sekarang, ada apa Rum?]

Sebelum Ami menoleh ke sampingnya balasan chat masuk kembali.
[Tolong antar aku ke rumah sakit.]
Melihat balasan chat tersebut membuat Ami langsung bergegas. Entah apa yang dialami Arum, hingga ia harus kerumah sakit.

Motor Ami berhenti tepat di depan rumah Arum. "Assalamualaikum," panggil Ami sembari mengetuk pintu.

Arum membuka pintu rumahnya. Terlihat mata Arum yang membengkak. "Ami, tolong selamatkan putraku," ucapnya berderaian air mata. Terlihat jelas tangan Zaki terluka parah, terdapat sayatan di bagian lengannya.

Buru-buru Ami mengantar Arum ke rumah sakit hingga Zaki akhirnya ditangani oleh dokter.

Beberapa menit berlalu, Zaki terpaksa diberi obat bius setelah jahitan ditangannya selesai.

"Arum, kenapa hal ini bisa terjadi?" tanya Ami saat ia melihat Arum memandang putranya begitu putus asa.

"Aku tidak tau, yang kuingat hanyalah Zoya yang masuk saat kami tertidur dan tiba-tiba saja mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Aku tidak tau jika ia akan nekat melukai Zaki. Mi, aku sangat takut," adu Arum berderaian air mata.

Ami mengusap punggung Arum, ia berusaha menenangkannya. "Kamu tenang saja Rum, aku ada disini, dan in sya Allah calon suamimu juga bakalan membantumu," ucap Ami yang membuat Arum spontan menatapnya.

Ia memang sudah menyetujui lamaran yang di ajukan Ami tapi sejujurnya ia juga penasaran siapa sebenarnya calon suaminya itu.

"Mi, siapa sebenarnya laki-laki yang berani meminang ku?" tanya Arum yang kini terfokus kepada sahabatnya itu.

"Kakak Abi," ucap Ami begitu enteng.

Arum menatap lekat ke arah Ami. Ia begitu syok mendengar jawaban sahabat nya itu. "Mi, aku pasti salah dengar kan?"

Ami menggenggam tangan Arum. "Tidak, aku ingin kamu menjadi madu aku Rum," jelas Ami sembari tersenyum.

"Tidak, aku tidak mau," tolak Arum sembari melepas genggaman tangan Ami.

"Tapi kamu sudah menyetujuinya Rum." Ami mengangkan kedua tangan Arum. "Dengan tangan ini kamu membalas pesanku. Apa lagi yang kau pikirkan Rum?" ucapnya seraya menunjuk kearah kedua tangan Arum.

"Aku bingung Mi, di satu sisi aku siap untuk menikah lagi. Tapi saat tau siapa lelaki yang kamu maksud rasanya Aku mau mundur. Aku tidak tahu maksud kamu apa hingga meminangku untuk suamimu. Kamu tahu kan, aku sering di caci sama orang-orang, dikatai teroris. Aku tidak mau menambah lagi, disangka perebut suami sahabat sendiri. Niatmu baik, tapi ada hal mau aku ku tanyakan, apa suamimu tahu tentang ini?"

"Iya, aku pernah membicarakan tentang niatku ini kepadanya."

Arum mengeryit saat teringat akan sesuatu.

"Ami? Mengingat hal terakhir kali, Dia nggak maksa kamu, kan?"

"Astaghfirullah, nggak boleh soudzon gitu Rum, aku serius, nggak ada paksaan sama sekali."

Arum memegang kedua bahu sahabatnya. "Ami jujur sama Aku, Dia mau poligami lagi?" Ami tersenyum lalu mengerai tangan Arum.

"Justru aku yang memaksanya untuk menikahimu. Memang, pada awalnya aku nggak setuju kalau Kak Abi nikah lagi, apalagi sama Mbak Najwa karena mereka sepasang mantan kekasih. Dan alasan paling utama, Najwa bukan yang terbaik buat Suamiku. Tapi beda dengan kamu, Rum. Kamu baik cocok untuk Kak Abi.

Setelah dipikir, kenapa nggak nikah aja sama kamu? Kamu akan hidup tenang, tidak akan kerja untuk kebutuhan. Kak Abi sanggup untuk nafkahin kalian berdua, aku juga ridho. Dan untuk pertanyaan mu, Kak Abi sama sekali nggak tahu itulah sebabnya dia kaget dan nolak, tapi tenang aja nanti kubujuk sampai mau."

Arum menatap Ami dengan raut tak percaya.

"Aku nggak paham lagi sama kamu, Mi. Kamu rela dimadu?"

Ami mengangguk. "Asalkan sama kamu."

Arum menggeleng tidak habis pikir. Ami tersenyum lalu meraih tangan Arum.

"Arum, ini bukan juga tentang kamu, tapi untuk Zaki. Dia butuh sosok ayah. Bukannya kamu siap nikah buat Zaki juga, kan?"

"Iya, tapi bukan suami kamu juga!"

Ami terkekeh. "Emang kenapa? Kan Aku udah bilang, Aku ridho asalkan itu Kamu."

"Nggak, aku nggak mau," bantah Arum.

Raut wajah Ami berubah sendu. "Arum, Aku mohon. Anggap aja ini permintaan terakhir Aku."

"Kamu ini ngomong apa sih, Mi!"

"Mau yah," ujar Ami.

"Mau dong, Arum harus mau."

Arum mendelik. "Kamu lucu tau nggak,"

"Ya emang Aku lucu, siapa lagi dong, istrinya kak Abii."

"Ayolah-ayolah, Aruumm!" Ami merengek lalu mengedipkan matanya berkali-kali sanggup membuat Arum tertawa kecil.

"Ingat, Zaki butuh Ayah, Aku butuh teman, Kak Abi butuh istri lagi," jelas Ami membuat Arum mendelik.

Arum menghela nafas. "Zaki memang butuh sosok Ayah, tapi-"

"Yaudah, jangan ada tapinya!"

"Kamu juga butuh pelindung, butuh sandaran. Pasti kamu cape kan hidup gini-gini aja," timpal Ami.

"Kamu butuh suami, dan suami aku cocok buat kamu."

Arum mengusap wajahnya lalu mengucap istighfar beberapa kali, cape juga ngomong sama Ami.

Arum mengangkat tangan, telunjuknya hinggap di dahi Ami. "Allahu laa ilaha ilaa huwal hai-yul qai-yuumu laa ta'khudzuhu sinatun walaa ...,"

Ami mengerutkan bibirnya saat Arum melanjutkan bacaannya.

"Kamu ini mirip sama kakak Abi, suka banget ngerukiyah, " ujar Ami saat kegiatan Arum selesai. "Ihh, apa jangan-jangan jodoh lagi," lanjutnya.

"Cape aku ngomong sama kamu," ujar Arum.

"Kalau cape, ya nikah," balas Ami.

"Sejak kapan konsepnya jadi gitu?"

"Udah lupain aja, sekarang kamu udah siap kan, nikah sama Kak Abi?" tanya Ami kembali ke pembahasan awal.

"Astagfirullah, Ami!"

"Udah kamu jangan banyakan mikir. Nanti keburu tua," seloroh Ami.

Arum bergeming.

"Jadi gimana?"

"Aku butuh waktu buat mikir."

"Kemarin kamu udah setuju, tuh. Masa sekarang mau mikir lagi."

"Ya'kan aku nggak tau, kalau ternyata laki-lakinya itu suami kamu,"

"Yaudah deh, tapi harus setuju, yah."

"Untuk apa diberi waktu untuk memikirkan semuanya jika jawabannya harus setuju?"

"Pokoknya nggak ada penolakan, Ami bakalan bicara sama Kakak Abi tentang masalah ini."

"Ta--"

"Utsss nggak ada komen lagi." Ami menatap ke arah jam yang menunjukkan pukul 5 lewat sepuluh. "Rum, mari shalat subuh, sebentar lagi pagi," ajak Ami.

....

Kalau suka jangan lupa komen yah🥰

Istri Wibu Ustadz Abimanyu (Tamat + Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang