07. Who's he?

97 64 4
                                    

Of all your favorites, I want to be one of them

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Of all your favorites,
I want to be one of them

❦ ── · ✦

Sudah pukul 2 pagi, kamar hening yang terdengar hanya detak jarum jam, Rae masih terjaga. Mengerjakan susunan puzzle dari jam 12. Tidak biasanya dia menyusun puzzle sampai 2 jam, dia merasa ada yang salah dengan dirinya. Disaat tidak bisa tidur, dia memang akan menghabiskan waktunya dengan menyusun puzzle, menyusun lego, ataupun lainnya yang berhubungan dengan otak.

Kacamata yang bertengger di batang hidungnya dia benarkan, tidak pernah berhenti Rae memandangi ponselnya yang hampa dan sesekali notif dari operator.

Sore nanti dia dan Jexer akan kembali ke negera asal. Rae memikirkan apa yang ingin diberi buat gadis model itu untuk kenangan. Rae bangkit dari duduknya setelah menyimpan puzzle yang belum selesai, dia melangkah dan duduk depan komputer.

Rae berhasil menemukan sebuah ide.

"Barang lo udah semua?"

Rae mengangguk sebagai jawaban. Melihat sekeliling apartemen yang sudah setengah kosong, mungkin orang berpikir mengapa mereka berdua tidak tinggal saja di hotel, jawabannya adalah Jexer tidak mau, katanya dia ingin tinggal di apartemen biar serasa rumah sendiri.

Awalnya Rae menolak, karena biaya yang bisa dibilang tinggi, kemudian Jexer menyetujui untuk membayar lebih.

"Hati lo juga jangan lupa dibawa," ucap Jexer dengan tawanya memenuhi ruangan.

"Belum aja gue bakar foto-foto dalem apartemen lo," jawab Rae sambil merapikan kopernya. Sebuah foto yang sudah dia bingkai semalam menarik perhatian, hampir saja dia lupa memberikannya pada Laurence.

Merogoh sakunya untuk menemukan ponsel, Rae menelepon nomor yang baru dimasukkan dalam kontaknya. Hanya suara operator, lalu dia mengirimkan pesan berharap akan dibaca oleh sang penerima.

"Lo duluan aja ke bandara, gue ada urusan sebentar."

"Mau kemana?" tentu saja Jexer penasaran.

"Kasih sesuatu buat–" ucapan Rae menggantung, dia belum ingin memberi tahu sosok Laurence kepada Jexer. Tapi dia sudah kehabisan akal untuk memberikan alasan. "Laurence," lanjutnya dan berjalan mendekati pintu dengan koper yang dia bawa.

Mata Jexer membola. Dia seperti mengenali nama itu. Sangat tidak asing.

"Laurence ya? Kayaknya bukan orang biasa, bodo deh." Monolognya sembari terus merapikan baju-baju dalam koper.

The LouvreWhere stories live. Discover now