12. Rumah untuk pulang

87 51 1
                                    

❦ ── · ✦

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❦ ── · ✦

Sore itu, dua orang yang bertemu di Museum Louvre beberapa bulan lalu, menghabiskan waktu bersama.

Di atas motor berdua, Lau hanya diam memandangi kota Jakarta yang telah banyak berubah sejak dia meninggalkan kota itu. Begitu mengingat tiap kenangan, Lau penasaran dengan rumahnya sekarang. Pasti rumah itu sekarang telah dihuni oleh keluarga baru sang Papa.

Dia mendekatkan kepalanya tepat samping kepala Rae, "lo mau bawa gue kemana?" suaranya tidak sampai berteriak, sebab Rae menjalankan motornya dengan kecepatan normal.

"Kenapa?"

Lau mengulum bibirnya, lalu dia menepis rasa bingung itu. "Temenin gue ke suatu tempat, mau?" tanya dia begitu hati-hati.

Awalnya Rae sedikit bingung, akhirnya dia mengangguk. Lau tersenyum, "makasih Rae."

•••

Dia menyesal telah pulang ke Indonesia. Hatinya tersayat melihat rumah yang sudah sangat lama tidak dia tempati. Dia hanya melihat dari kejauhan, tidak berani untuk menampakkan diri depan Papanya.

Kepalanya menunduk, tak kuasa menahan air mata yang ingin turun. Dia rindu masa-masa itu. Dia rindu Papanya yang selalu mengantar jemput saat dia masih sekolah dasar. Dia juga rindu saat Mamanya membacakan dongeng sebelum tidur.

Rae melihat bahu yang bergerak naik turun itu, dia tahu gadis disampingnya tengah menangis dalam diam. Benar-benar tidak mengeluarkan suara.

Perlahan dia menaikkan tangan lalu menepuk bahu gadis itu pelan. "You okay?" Rae bertanya dan Lau menggeleng.

"Duduk sini, gue tungguin sampai nangis lo reda." Ajaknya seraya menepuk rumput bagian kosong disampingnya. Kini mereka sedang duduk di bawah pohon sedikit besar, cukup untuk menghalau sinar matahari. Lau menurut dan melipat kedua kakinya.

Ah Rae merasa tidak tega melihat air mata itu membasahi mata dan pipi Laurence. Lantas dia berkata, "hei, lo boleh nangis, keluarin suara tangis lo jangan ditahan. Doesn't it hurt, crying without a sound."

Dalam hati dia membenarkan ucapan Rae. Menangis tanpa suara tambah membuatnya sakit, tetapi dia terlalu malu untuk mengeluarkan suara saat menangis, jadi dia tak melakukannya yang dia lakukan adalah berhenti menangis.

Rae menoleh, "udah selesai?"

"Gue mau pulang," pintanya dengan mata setia menatap tanah yang ia pijaki.

"Stop menunduk, cepet naik." Suruh Rae yang sudah duduk diatas motor.

Begitu Lau menaiki motornya, Rae berkata lagi, "kalau lo butuh someone to talk, ada gue. Gak masalah untuk cerita ke gue."

The LouvreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang