09͙֒:☁︎JANGAN MEMANDANGKU SEBAGAI SAMPAH

3.2K 416 22
                                    

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah yang di laksanakan selama satu Minggu kini telah usai. Pembagian kelas untuk siswa-siswi kelas tujuh pun sudah di bagikan. Legenda menempati kelas 7A. Sudah satu Minggu lamanya ia bersekolah disini. Namun, Legenda belum juga mendapatkan seorang teman.

Benar apa yang di katakan oleh Kakeknya. Seharusnya, Legenda bisa lebih aktif untuk bersosialisasi bersama orang lain, bukan malah menjadi anak yang pendiam seperti ini. Entah mengapa, setiap kali Legenda ingin mencoba untuk bergaul, rasanya begitu sulit. Hingga lagi-lagi Legenda hanya bisa berteman dengan sepi.

Legenda yang duduk di bangku belakang sendirian, sedangkan orang lain berdua. Legenda yang kemana-mana sendirian, sedangkan orang lain bersama temannya. Legenda yang lebih banyak diam, sedangkan orang lain aktif di dalam kelas. Apa yang salah dengan dirinya? Apa karena dari kecil ia hanya  terbiasa bermain berdua bersama adiknya?

Bel istirahat terdengar nyaring, guru yang mengajar di kelas 7A itu pun keluar membawa barang-barangnya. Semua anak yang ada di kelas berlomba-lomba untuk bisa sampai keluar kelas duluan. Sementara Legenda hanya mampu memandang semuanya di pojok kelas sendirian.

“Kamu nggak istirahat?” tanya seorang perempuan yang duduk di bangku sebelahnya. Perempuan berpenampilan culun, dengan kaca mata bulat yang bertengger di batang hidungnya. Perempuan itu juga memiliki tahi lalat yang berukuran cukup besar di bawah pipinya.

Legenda pun hanya menggeleng sebagai respon, hanya perempuan itu yang menunjukkan rasa pedulinya terhadap Legenda. Entah mengapa, setiap berada di lingkungan sekolah, semangat dalam diri Legenda seakan hilang.

Ralat.

Bukan hanya di sekolah. Dimana pun, dan kapan pun, Legenda tidak pernah merasakan kobaran api semangat pada dirinya semenjak tidak ada Tenggara di sisinya. Mungkinkah sebagian jiwanya ada pada Tenggara? Oleh sebab itu, ketika mereka jauh, Legenda merasa hampa.

“Aku ke kantin duluan, ya,” pamit perempuan berkacamata itu, berlari kecil karena tangannya di tarik oleh temannya yang juga sama-sama mengenakan kacamata bulat.

Disini, hanya Legenda yang sendirian. Disini, hanya Legenda yang tidak memiliki seorang teman. Dan disini, hanya Legenda yang kesepian.

Legenda tiba-tiba merasakan tepukkan di punggungnya, menemukan seorang laki-laki yang sudah tidak asing lagi baginya. Dia Satya, orang yang dulu mengejek namanya sejak hari pertama MPLS.

“Kamu orang miskin, ya? Makanya setiap istirahat nggak pernah jajan,” celetuk Satya, berhasil membuat goresan di hati Legenda.

“Mau makan aja pasti susah, ya?” lanjutnya, lagi. Tanpa memikirkan perasaan Legenda sedikitpun. “Kaos kaki bolong aja masih di pake, nggak mampu beli apa?”

Legenda menunduk untuk menatap alas kakinya, salah satu jari kakinya keluar karena bolong. Tidak ada yang salah dengan ucapan Satya, ia memang orang susah, mau beli barang murah seperti kaos kaki pun, harus berpikir beberapa kali.

Apalagi, sudah dua hari terakhir ini, kakek tidak menarik becak karena kondisinya sedang sakit. Sudah dua hari juga kakek dan Legenda hanya mampu makan nasi dengan garam. Setiap sekolah, Legenda tidak membawa uang, dan tidak mambawa bekal juga. Legenda merasa malu jika harus membawa bekal nasi dengan taburan garam saja. Alhasil, Legenda selalu menahan rasa laparnya sampai pulang sekolah.

“Aku emang bukan anak yang beruntung kayak kamu, Sat.” Legenda menangkap pasang mata Satya yang juga sedang melihat ke arahnya. “Kalo aku boleh bilang, aku nggak mau punya takdir hidup kayak gini. Aku iri sama kamu, Sat. Aku juga mau hidup kayak kamu.”

Satya mendadak terdiam.

“Setiap hari kamu bisa makan enak, selalu di manja sama orang tua kamu. Sementara aku nggak. Sekadar ingin melihat wajahnya dan mendengar suaranya saja sulit bagi aku.”

Kehilangan Masa Kecil [TERBIT]✓Where stories live. Discover now