☁︎͙֒:EPILOG͙֒:☁︎

3.8K 371 25
                                    

Kakek Darsa dan Legenda masih diam di tempat semula. Tidak ada lagi obrolan mengenai masa lalu yang menyakitkan. Mereka berdua—Legenda dan Kakek sama-sama memperhatikan empat anak yang sedang berperang sarung di depan wilayah Masjid.

“Ikutan gih,” ucap Kakek, melirik ke arah Legenda yang ternyata sedang melamun.

“Selama ini, Kakek nggak pernah liat kamu bermain atau kerja kelompok sama temen-temen sekolah. Kenapa? Jangan bilang kamu nggak punya temen?”

Legenda hanya diam. Dia sadar bahwa disini, dirinyalah yang salah. Dirinya sendiri yang susah untuk bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya.

Seringkali Legenda merasa bahwa semakin besar, semakin sulit juga baginya untuk membuka diri dan berinteraksi dengan orang lain. Legenda merasa lebih aman dan tenang saat menyendiri, daripada harus berhadapan dengan tekanan dan ekspetasi dari orang-orang di sekitarnya. Rasanya, Legenda tidak pernah cukup baik atau cukup pintar untuk di terima oleh mereka. Tapi, di balik itu semua, sebenarnya Legenda hanya ingin di anggap dan di terima apa adanya. Tapi, terkadang, rasa takut dan ketidakpercayaan diri membuatnya semakin terisolasi dan introvert.

“Aku lebih nyaman sendirian, Kek,” jawab Legenda, Akhirnya. “Aku selalu merasa lelah kalo berkumpul dengan banyak orang.”

Meskipun dalam kalimat ucapannya itu, terdapat sedikit dusta. Jauh dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Legenda ingin sekali memiliki banyak teman, dan bisa bermain seru-seruan seperti empat anak yang ada di depannya itu. Namun, apalah daya. Legenda selalu kalah dengan dirinya sendiri.

☁︎͙֒:ᴸᵉᵍᵉⁿᵈᵃ͙֒:☁︎

Legenda menengadahkan kedua tangannya untuk meminta permohonan kepada Tuhan-nya setelah selesai melaksanakan rakaat shalat Maghribnya. Seluruh memori tentang kenangan bersama keluarga kecilnya yang humoris dulu memenuhi kepalanya. Kenangan perihal kebahagiaan, dan juga kenangan tentang seluruh kesedihan pun berputar silih berganti di dalam benaknya. Ingatan beberapa hari lalu ketika ia dan Kakek kesusahan mendapatkan makanan pun ikut serta hinggap di dalam kepalanya.

Setiap kali Legenda ingin mengeluh, ia selalu sadar bahwa di luar sana banyak sekali orang yang lebih susah dan menderita di bandingkan dirinya. Di luar sana banyak anak-anak yang hidup di jalanan tanpa mempunyai tempat untuk pulang, sedangkan Legenda masih mempunyai rumah untuk berteduh dari panasnya matahari dan derasnya hujan. Di luar sana, banyak orang yang hidup sebatang kara tanpa ada satu keluarga pun yang mengurusnya, sedangkan Legenda masih mempunyai Kakek yang dengan senang hati masih mau merawatnya.

Legenda tiba-tiba mendengar bisikkan Kakeknya di sebelah telinganya, “Jangan pernah lupa untuk selalu mendoakan orang tuamu.”

Setelah mendengar bisikkan itu, jantung Legenda mendadak berdetak dua kali lebih cepat. Legenda memejamkan matanya rapat-rapat. Wajah Mama dan Papa kini terbayang begitu jelas, mereka seakan sedang ada di depannya seraya tersenyum hangat. Tanpa sadar, bibir Legenda berkedut menahan senyuman kecilnya.

“Aku ingin pergi lebih dulu dari Mama sama Papa. Aku nggak akan sanggup jika harus kehilangan mereka untuk selamanya.”

Kakek Darsa terus memperhatikan Legenda dari samping, melihat bagaimana cairan bening itu menetes membasahi pipi tirusnya. Bibir tipis yang masih pucat itu komat-kamit meminta permohonan kepada sang pencipta, serta kedua tangan mungil yang menengadah ke atas itu sedikit bergetar. Kakek ingin sekali merengkuh jiwa ringkih itu detik ini juga. Namun, Kakek menyadari posisinya bahwa ia sedang berada di shaf depan. Kakek tidak mau jika tangisan Legenda nantinya semakin menggila, lalu menarik perhatian orang-orang yang ada di sana.

Beberapa menit kemudian, jemaah Masjid satu persatu mulai keluar untuk pulang. Tetapi, Legenda masih setia menutup wajah menggunakan telapak tangannya. Sampai pada akhirnya, hanya tersisa Legenda, Kakek dan seorang Ustadz bernama Yahya di dalam Masjid tersebut.

Kehilangan Masa Kecil [TERBIT]✓Where stories live. Discover now