11͙֒:☁︎HAL BAIK BUTUH WAKTU

2.9K 384 41
                                    

Irama langkah Legenda yang semakin pelan berhenti di sebuah pos ronda. Suara riuh di tempat itu kalah dengan riuh di kepala Legenda. Benaknya benar-benar sangat berisik, kedua tangan Legenda mengepal di kedua sisi tubuhnya.

Entah gejolak apa yang sedang Legenda rasakan saat ini. Rasa khawatir kepada kakek, rasa takut akan kondisi kakek yang semakin melemah, rasa rindu kepada orang tuanya, rasa kesal, rasa benci, rasa sedih, semua berpadu menjadi satu. Legenda seakan di hadapkan oleh jalan yang buntu, tetapi pikirannya bercabang kemana-mana.

Legenda seolah tidak dapat menemukan jalan, tidak ada setitik cahaya pun yang ia temukan, hanya ada kegelapan yang mengerumuni seluruh hidupnya. Mengapa Legenda menjadi orang yang berantakan? Mengapa Legenda kalah dengan isi kepalanya sendiri?

Semilir angin menghempas wajah Legenda sehingga sisa-sisa air mata di pipinya mengering. Rahangnya terkatup. Legenda melupakan niat untuk membeli obat buat kakek, bubur yang ia bawa pun mungkin sudah dingin sekarang.

"Bang Legenda?"

Legenda termenung selama beberapa detik ketika mendengar suara yang menyapanya.

"Bang?"

Legenda kemudian tersadar ketika ucapan kedua itu terdengar. Ia menemukan sosok Ale yang berdiri di hadapannya dengan kedua alisnya yang menukik kebingungan.

"Abang lagi ngapain?" tanya anak itu.

"Eh, Ale, ya? Kamu apa kabar?"

Seri muka Legenda berubah dalam sekejap waktu. Ia memeluk tubuh Ale yang terlihat semakin kurus.

"Seperti yang Abang liat. Bohong kalo aku bilang baik-baik aja," jawab Ale dengan tampang datar yang memamerkan sedikit senyuman.

Legenda celingukkan mencari seseorang yang senantiasa hidup dengan Ale. Karena tak kunjung menemukan orang tersebut, Legenda lantas bertanya, "Aal mana?"

Raut wajah Ale berubah sendu. Ia memalingkan mukanya kesembarang arah. Susah payah Ale menelan salivanya sendiri yang terasa pahit. Laki-laki itu mendongak menatap langit biru di atas sana.

"Aal udah nggak ada, Bang," suara Ale tercekat, dan terdengar sedikit bergetar.

Legenda mengernyit karena kurang paham dengan apa yang di maksud Ale. "Nggak ada kemana?"

"Aal udah meninggal," jelas Ale, yang mampu membuat seluruh tubuh Legenda mematung.

Napas Legenda tertahan di rongga dada. Legenda sedikit tidak percaya dengan apa yang Ale ucapkan. Tetapi, untuk apa juga Ale berbohong perihal kematian?

"Penyebabnya karena apa?" tanya Legenda penasaran. Ia mengajak Ale untuk duduk, Legenda juga mengusap punggung Ale untuk memberikan sedikit ketenangan. Hidup Ale pasti sangat berat, dan tidak mudah di jalani dengan hati yang lapang.

"Waktu itu Aal bukan demam biasa, Bang. Dia demam berdarah. Aku kira, bintik-bintik merah di tangan dan kakinya itu karena gigitan nyamuk, karena kami, kan, memang selalu tidur di luar tanpa alas dan selimut. Ternyata, bintik-bintik merah yang ada di tubuh Aal itu adalah salah satu tanda demam berdarah."

Ale mengusap kristal bening di ujung matanya yang hampir terjatuh. Ale tidak boleh menangisi kepergian Adeknya lagi. Ale sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan belajar untuk mengikhlaskan kepergian Aal dengan sepenuh hati.

"Abang mau ke makam Aal?" tawar Ale, dan langsung di balas anggukan setuju dari Legenda.

☁︎͙֒:ᴸᵉᵍᵉⁿᵈᵃ͙֒:☁︎

Ale duduk bersimpuh di sebelah pusara Aal. Ale menangis sesenggukan. Karena nyatanya, ikhlas itu tidak pernah ada. Ikhlas itu bohong, dan ikhlas itu hanya omong kosong.

Kehilangan Masa Kecil [TERBIT]✓Where stories live. Discover now